Senin, 16 Juli 2012

5. Kesimpulan (Filsafat Carvaka)

5. Kesimpulan (Filsafat Càrvàka)

Seperti kaum Epicurean dari Yunani, kaum Càrvàka di India telah sangat dibenci ketimbang dipahami. Istilah Càrvàka di benak orang-orang secara luas dimaksudkan sebagai celaan. Tetapi bagi para pelajar filsafat sangat berguna untuk selalu ingat juga apa yang diberikan filsafat India pada kaum Càrvàka
Skeptisisme atau pun ketidak perdulian hanyalah pengungkapan dari pikiran bebas yang menolak untuk menerima kebijaksanaan tradisional tanpa suatu kritik menyeluruh. Filsafat, sebagai suatu spekulasi kritis menuntut terutama untuk hidup pada pemikiran bebas dan selebihnya ia dapat memuaskan yang tidak perduli, hal-hal yang lebih masuk akal akan dapat terjadi.
Dengan mempertanyakan kelogisan dari pendapat yang populer, kaum skeptis akan mempersiapkan masalah-masalah baru sehingga dengan pemecahannya filsafat akan bertambah kaya. Kant, sebagai salah seorang filsuf Barat terbesar, menyadari keragu-raguannya tentang skeptisisme ini ketika ia menyatakan: ”Skeptisisme Hume telah membangkitkanku dari kelelapan dogmatis.”  
Dan kita dapat mengatakan bahwa kaum Càrvàka juga telah menyelamatkan filsafat India dari dogmatisme menuju tingkatan yang besar. Seperti yang telah dinyatakan bahwa setiap sistem pemikiran India mencoba untuk lebih mengenal sanggahan kaum Càrvàka dan membuat Càrvàka sebagai batu ujian bagi teori-teorinya. 
Oleh karena itu, nilai filsafat Càrvàka terkandung langsung pada penyediaan masalah-masalah filosofis segar dan secara tidak langsung dalam mendorong para pemikir lain untuk melepaskan dogmatisme dan menjadi kritis serta berhati-hati dalam berspekulasi, demikian juga dalam mengemukakan pandangannya. 
Akhirnya, dapat juga dicatat bahwa kontribusi dari epistemologi Càrvàka bukannya tidak penting. Kekritisan penarikan kesimpulan yang disampaikan kaum Càrvàka oleh lawan-lawannya, mengingatkan kita tentang kekritisan yang dilontarkan pada jaman modern sekarang ini terhadap kelogisan dari logika deduktif. 
Pandangan kaum Càrvàka bahwa tak ada kesimpulan yang dapat menghasilkan pengetahuan yang pasti merupakan pandangan banyak pemikir Barat kontemprorer seperti kaum pragmatis dan kaum positif logis.
Apa yang telah dibuat kaum Càrvàka mendapat nama yang sangat buruk pada orang-orang, kemungkinan adalah etikanya tentang kesenangan. Pengejaran kesenangan itu sendiri bukanlah obyek atau sasaran penolakan mereka; karena kesenangan dalam beberapa bentuknya diakui sebagai suatu hal yang juga diinginkan oleh para fisuf lainnya. 
Yang ditolak hanyalah bila sifat kesenangan itu kasar (tidak sopan) dan dimaksudkan hanya untuk dirinya sendiri. Kenyataannya memang beberapa orang pengikut Càrvàka mempertahankan kehidupan kesenangan sensual yang kasar. Tetapi, kadang-kadang dijumpai perbedaan antara kaum Càrvàka yang licik (dùrta) dan yang berbudaya (suúikûita) sehingga kemungkinan mereka tidak semuanya berasal dari jenis yang tak berbudaya tadi. 
Terdapat bukti-bukti bahwa kaum materialistis juga mengabdikan dirinya pada pengejaran akan kesenangan yang lebih baik, umpamanya dalam mengusahakan seni yang indah, antara lain dalam bidang seni enampuluh empatan (catuá ûaûþi-kalàá), sesuai dengan pendapat Vàtsyàyana, seorang hedonis terkenal dan penyusun Kàma Sùtra yang tersohor itu. 
Kaum materialistis tidak semuanya hedonis yang egois. Hedonisme egoistis dalam bentuknya yang kasar tidak rukun dengan disiplin sosial masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat tak mungkin berlangsung bilamana orang tidak mau mengorbankan sebagian dari kesenangannya bagi orang lain. Kita diberi tahu bahwa beberapa orang pengikut Càrvàka bahkan menganggap raja sebagai Tuhan. Hal ini menunjukkan keyakinan mereka yang besar pada keperluan akan masyarakat dan pimpinannya. 
Selanjutnya pendapat ini diperkuat ketika kita mendapatkan bahwa filsafat dan ekonomi politis (daóðanìti dan vàrttà) dalam beberapa tahapannya ikut mewarnai filsafat Lokàyatika tersebut. Akan tampak dari kenyataan ini bahwa diantara kaum pengikut sistem materialistis India kuno ada yang berbudaya seperti yang kita jumpai diantara kaum positifisme modern Eropah atau pun pengikut Demokritus Yunani kuno.
Bukti positif terbaik dari hedonisme yang diperbaiki dijumpai pada filsafat etis yang ditampilkan oleh Vàtsyàyana dalam bab ke-2 dari kitab Kàma Sùtra. Disinilah kita menemukan hedonistis agung itu sendiri yang menyatakan dan mempertahankan pandangannya sendiri. 
Walaupun Vàtsyàyana mempercayai Tuhan dan kehidupan setelah mati, sehingga dalam pengertian umum bukan termasuk golongan materialistis, namun menurut pengertian istilah yang lebih luas yaitu, orang yang mencoba untuk menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dengan fenomena yang lebih rendah, beliau dapat dianggap sebagai pengikut materialistis.  
Vàtsyàyana mengakui tiga tujuan kehidupan manusia yang diinginkan, yaitu dharma, artha dan kàma (kebajikan, kekayaan dan kenikmatan) yang harus diusahakan secara harmonis (parasparasya anupaghàtakaý trivargaý seveta, kàma sùtra 1.2.1). Kecenderungan materialistisnya terkandung dalam anggapannya bahwa dharma dan artha dilaksanakan hanya sebagai jalan untuk menuju kenikmatan sebagai tujuan tertinggi. 
Unsur perbaikan dalam hedonistisnya terkandung dalam penekanannya pada pengendalian diri (brahmacarya) dan disiplin spiritual (dharma), demikian juga urbanitas (nàgarikavåtti), dimana tanpa hal ini kenikmatan manusia akan kesenangan akan merosot pada tingkat kenikmatan hewani. Ia menunjukkan bahwa semua kenikmatan fisik (kàma) pada akhirnya dapat diturunkan pada gratifikasi dari panca indra. 
Selanjutnya ia menyatakan bahwa kepuasan indra-indra perlu demi keberadaan badan (úarìrasthiti), seperti halnya pemuasan rasa lapar. Tetapi, ia juga menegaskan bahwa indra-indra harus dididik, didisiplinkan dan dibudayakan melalui latihan pada seni enampuluh empatan. Pelatihan ini hanya diberikan setelah seseorang mengabdikan awal kehidupannya pada kepercayaan diri mutlak dan mempelajari Veda dan cabang-cabang pengetahuan tambahannya. 
Ia menekankan bahwa tanpa budaya kenikmatan manusia akan tak terbedakan dengan kenikmatan hewani. Terhadap kaum hedonis yang tidak sabaran yang tidak mau mengurungkan kenyamanannya sekarang dan tidak mau mengusahakan secara keras kenikmatan masa depannya, Vàtsyàyana menegaskan bahwa sikap demikian itu merupakan tindakan bunuh diri. 
Karena, hal ini akan mencegah seseorang bahkan dari usaha keras dan penebaran benih pada harapan akan panen kenikmatan masa depan. Sejalan dengan pengaturan keinginan akan kenikmatan, ia menegaskan dengan perumpamaan historis, bahwa keinginan yang banyak sekali, yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dharma dan artha, akan membawa pada hilangnya kesempatan terhadap segala kenikmatan. 
Dalam mendukung studi ilmiah tentang kondisi dan cara kenikmatan, seperti seorang ilmuwan modern, ia meminta dengan sangat bahwa beberapa ilmu pengetahuan berada pada akar dari setiap pelaksanaan yang berhasil; dan bahwa walaupun semua orang mungkin tidak mempelajari ilmu pengetahuan, mereka di untungkan oleh gagasan-gagasan yang secara tidak sadar dan tidak langsung merembes pada orang-orang awam yang diantaranya terdapat para ilmuwan. Inilah barangkali yang menyebabkan para pemikir semacam ini dijuluki ’hedonistis yang berbudaya’ (suúikûita-càrvàka).
Dalam kitab úuci Buddhis awal kita juga menemukan referensi pendek mengenai beberapa orang skeptis, agnostik, para pemutar balikkan fakta dan kaum materialistis yang harus ditentang pengikut Buddha dan yang mungkin dianggap sebagai kaum Càrvàka licik (dhùrta). Dalam Sàmaññaphala-sutta dinyatakan sebagai berikut: 
  • Puraóa Kassapa, salah seorang yang menolak pertanggung jawaban moral, kebajikan dan kekekjian; 
  • Makkhali Gosàla, orang yang menolak keinginan bebas, dan kemungkinan akan usaha moral; 
  • Ajita Kesakambalì, yang mengajarkan sumber material dan sifat mudah hancurnya manusia, kesia-siaan dari kegiatan baik dan kemustahilan dari ilmu pengetahuan; dan 
  • Sañjaya Belaþþhiputta, yang tidak menegaskan, maupun menolak, atau pun menegaskan dan menolak pada saat yang sama, atau bahkan tidak mengakui bahwa ia tidak menegaskan maupun menolak sesuatu pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar