5. Kesimpulan (Filsafat Càrvàka)
Seperti kaum Epicurean dari
Yunani, kaum Càrvàka di India telah sangat dibenci ketimbang
dipahami. Istilah ’Càrvàka’ di benak orang-orang secara luas
dimaksudkan sebagai celaan. Tetapi bagi para pelajar filsafat sangat berguna
untuk selalu ingat juga apa yang diberikan filsafat India pada kaum Càrvàka.
Dengan
mempertanyakan kelogisan dari pendapat yang populer, kaum skeptis akan
mempersiapkan masalah-masalah baru sehingga dengan pemecahannya filsafat akan
bertambah kaya. Kant, sebagai salah seorang filsuf Barat terbesar,
menyadari keragu-raguannya tentang skeptisisme ini ketika ia menyatakan: ”Skeptisisme
Hume telah membangkitkanku dari kelelapan dogmatis.”
Dan kita dapat
mengatakan bahwa kaum Càrvàka juga telah menyelamatkan filsafat
India dari dogmatisme menuju tingkatan yang besar. Seperti yang telah
dinyatakan bahwa setiap sistem pemikiran India mencoba untuk lebih mengenal
sanggahan kaum Càrvàka dan membuat Càrvàka sebagai
batu ujian bagi teori-teorinya.
Oleh karena itu, nilai filsafat Càrvàka
terkandung langsung pada penyediaan masalah-masalah filosofis segar dan secara
tidak langsung dalam mendorong para pemikir lain untuk melepaskan dogmatisme
dan menjadi kritis serta berhati-hati dalam berspekulasi, demikian juga dalam
mengemukakan pandangannya.
Akhirnya, dapat juga dicatat bahwa kontribusi dari
epistemologi Càrvàka bukannya tidak penting. Kekritisan
penarikan kesimpulan yang disampaikan kaum Càrvàka oleh
lawan-lawannya, mengingatkan kita tentang kekritisan yang dilontarkan pada
jaman modern sekarang ini terhadap kelogisan dari logika deduktif.
Pandangan
kaum Càrvàka bahwa tak ada kesimpulan yang dapat menghasilkan
pengetahuan yang pasti merupakan pandangan banyak pemikir Barat kontemprorer
seperti kaum pragmatis dan kaum positif logis.
Apa yang telah dibuat kaum Càrvàka mendapat nama
yang sangat buruk pada orang-orang, kemungkinan adalah etikanya tentang kesenangan.
Pengejaran kesenangan itu sendiri bukanlah obyek atau sasaran penolakan mereka;
karena kesenangan dalam beberapa bentuknya diakui sebagai suatu hal yang juga
diinginkan oleh para fisuf lainnya.
Yang ditolak hanyalah bila sifat kesenangan
itu kasar (tidak sopan) dan dimaksudkan hanya untuk dirinya sendiri.
Kenyataannya memang beberapa orang pengikut Càrvàka
mempertahankan kehidupan kesenangan sensual yang kasar. Tetapi, kadang-kadang
dijumpai perbedaan antara kaum Càrvàka yang licik (dùrta)
dan yang berbudaya (suúikûita) sehingga kemungkinan mereka
tidak semuanya berasal dari jenis yang tak berbudaya tadi.
Terdapat bukti-bukti
bahwa kaum materialistis juga mengabdikan dirinya pada pengejaran akan
kesenangan yang lebih baik, umpamanya dalam mengusahakan seni yang indah,
antara lain dalam bidang seni enampuluh empatan (catuá ûaûþi-kalàá),
sesuai dengan pendapat Vàtsyàyana, seorang hedonis terkenal dan
penyusun Kàma Sùtra yang tersohor itu.
Kaum materialistis tidak
semuanya hedonis yang egois. Hedonisme egoistis dalam bentuknya yang kasar
tidak rukun dengan disiplin sosial masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat tak
mungkin berlangsung bilamana orang tidak mau mengorbankan sebagian dari
kesenangannya bagi orang lain. Kita diberi tahu bahwa beberapa orang pengikut Càrvàka
bahkan menganggap raja sebagai Tuhan. Hal ini menunjukkan keyakinan mereka yang
besar pada keperluan akan masyarakat dan pimpinannya.
Selanjutnya pendapat ini
diperkuat ketika kita mendapatkan bahwa filsafat dan ekonomi politis (daóðanìti
dan vàrttà) dalam beberapa tahapannya ikut
mewarnai filsafat Lokàyatika tersebut. Akan tampak dari kenyataan ini
bahwa diantara kaum pengikut sistem materialistis India kuno ada yang berbudaya
seperti yang kita jumpai diantara kaum positifisme modern Eropah atau pun
pengikut Demokritus Yunani kuno.
Bukti positif terbaik dari hedonisme yang diperbaiki dijumpai
pada filsafat etis yang ditampilkan oleh Vàtsyàyana dalam bab
ke-2 dari kitab Kàma Sùtra. Disinilah kita menemukan
hedonistis agung itu sendiri yang menyatakan dan mempertahankan pandangannya
sendiri.
Walaupun Vàtsyàyana mempercayai Tuhan dan kehidupan
setelah mati, sehingga dalam pengertian umum bukan termasuk golongan
materialistis, namun menurut pengertian istilah yang lebih luas yaitu, orang
yang mencoba untuk menjelaskan fenomena yang lebih tinggi dengan fenomena yang
lebih rendah, beliau dapat dianggap sebagai pengikut materialistis.
Vàtsyàyana
mengakui tiga tujuan kehidupan manusia yang diinginkan, yaitu dharma,
artha dan kàma (kebajikan, kekayaan dan
kenikmatan) yang harus diusahakan secara harmonis (parasparasya
anupaghàtakaý trivargaý seveta, kàma sùtra 1.2.1). Kecenderungan
materialistisnya terkandung dalam anggapannya bahwa dharma dan
artha dilaksanakan hanya sebagai jalan untuk menuju kenikmatan
sebagai tujuan tertinggi.
Unsur perbaikan dalam hedonistisnya terkandung dalam
penekanannya pada pengendalian diri (brahmacarya) dan disiplin
spiritual (dharma), demikian juga urbanitas (nàgarikavåtti),
dimana tanpa hal ini kenikmatan manusia akan kesenangan akan merosot pada
tingkat kenikmatan hewani. Ia menunjukkan bahwa semua kenikmatan fisik (kàma)
pada akhirnya dapat diturunkan pada gratifikasi dari panca indra.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa kepuasan indra-indra perlu demi keberadaan
badan (úarìrasthiti), seperti halnya pemuasan rasa lapar. Tetapi,
ia juga menegaskan bahwa indra-indra harus dididik, didisiplinkan dan
dibudayakan melalui latihan pada seni enampuluh empatan. Pelatihan ini hanya
diberikan setelah seseorang mengabdikan awal kehidupannya pada kepercayaan diri
mutlak dan mempelajari Veda dan cabang-cabang pengetahuan
tambahannya.
Ia menekankan bahwa tanpa budaya kenikmatan manusia akan tak
terbedakan dengan kenikmatan hewani. Terhadap kaum hedonis yang tidak sabaran
yang tidak mau mengurungkan kenyamanannya sekarang dan tidak mau mengusahakan
secara keras kenikmatan masa depannya, Vàtsyàyana menegaskan
bahwa sikap demikian itu merupakan tindakan bunuh diri.
Karena, hal ini akan
mencegah seseorang bahkan dari usaha keras dan penebaran benih pada harapan
akan panen kenikmatan masa depan. Sejalan dengan pengaturan keinginan akan
kenikmatan, ia menegaskan dengan perumpamaan historis, bahwa keinginan yang
banyak sekali, yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dharma dan
artha, akan membawa pada hilangnya kesempatan terhadap segala
kenikmatan.
Dalam mendukung studi ilmiah tentang kondisi dan cara kenikmatan,
seperti seorang ilmuwan modern, ia meminta dengan sangat bahwa beberapa ilmu
pengetahuan berada pada akar dari setiap pelaksanaan yang berhasil; dan bahwa
walaupun semua orang mungkin tidak mempelajari ilmu pengetahuan, mereka di
untungkan oleh gagasan-gagasan yang secara tidak sadar dan tidak langsung
merembes pada orang-orang awam yang diantaranya terdapat para ilmuwan. Inilah
barangkali yang menyebabkan para pemikir semacam ini dijuluki ’hedonistis
yang berbudaya’ (suúikûita-càrvàka).
Dalam kitab úuci Buddhis awal kita juga menemukan referensi
pendek mengenai beberapa orang skeptis, agnostik, para pemutar balikkan fakta
dan kaum materialistis yang harus ditentang pengikut Buddha dan
yang mungkin dianggap sebagai kaum Càrvàka licik (dhùrta).
Dalam Sàmaññaphala-sutta dinyatakan sebagai
berikut:
- Puraóa Kassapa, salah seorang yang menolak pertanggung jawaban moral, kebajikan dan kekekjian;
- Makkhali Gosàla, orang yang menolak keinginan bebas, dan kemungkinan akan usaha moral;
- Ajita Kesakambalì, yang mengajarkan sumber material dan sifat mudah hancurnya manusia, kesia-siaan dari kegiatan baik dan kemustahilan dari ilmu pengetahuan; dan
- Sañjaya Belaþþhiputta, yang tidak menegaskan, maupun menolak, atau pun menegaskan dan menolak pada saat yang sama, atau bahkan tidak mengakui bahwa ia tidak menegaskan maupun menolak sesuatu pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar