Selasa, 17 Juli 2012

Pengantar Filsafat yang Menghibur


PENGANTAR

Seusai membaca naskah buku ini, saya terpaksa berkesimpulan bahwa Hector Hawton, sekalipun bukan seorang akademisi, telah melakukan serangan telak terhadap para filsuf profesional berdasarkan permainan mereka sendiri. Bagaimanakah penjelasannya? Bukan karena buku ini sebagai hasil dari membaca dengan cermat dan luas karya-karya pengarang filsafat. Bukan karena telah terdapat banyak kajian seperti itu dalam berbagai tingkatan, tetapi karena ia telah membuahkan materi yang telah melewati pemikiran yang jernih dan kritis, kemudian dihadirkan dengan penuh kesegaran dan antusiasme. Buku kecil ini, Filsafat yang Menghibur (Philosophy for Pleasure), membicarakan persoalan yang sebenarnya.

Baik manusia maupun ilmu pengetahuan dan filsuf mengetahui bahwa semakin banyak belajar hanyalah akan membuat seseorang terperangkap dalam prasangka. Itulah sebabnya amatir yang berbakat, yakni orang luar, melihat hampir semua permainan tersebut. Menurut pendapat saya, buku Hawton merupakan contoh cemerlang terhadap hal ini. Terhadap latihan dalam disiplin menulis ia menambahkan berbagai minat bagi pikiran: dan bukannya terlalu terpengaruh pada otoritas nama-nama besar, ia berhasil melihat kayu, bukannya pohon. Sangat sering buku-buku tentang filsafat yang memberi kesan bahwa filsafat sama banyaknya dengan filsuf. Tetapi, sebagaimana dikatakan Hawton dengan tepat, “Tentunya merupakan kesalahan jika berasumsi bahwa sebuah sejarah filsafat menyerupai sebuah ‘Brains Trust’ yang luas, sehingga para mahasiswa harus duduk kembali, dan mendengarkan pendapat-pendapat Plato, Descartes, Locke, Kant, dan sebagainya.” Orang-orang terkemuka ini bukan sekadar penulis-penulis yang karyanya hanya untuk dibaca: mereka, setiap orang di antara mereka, merupakan contoh dari sesuatu yang umurnya telah berabad-abad yang mendukung upaya untuk membuat kerangka dalam bahasa yang jelas dan halus, yakni pertanyaan mendasar di mana kita semua (dalam momentum kita yang lebih reflektif) dipaksa untuk bertanya pada diri kita sendiri.

Cara pendekatan terhadap kajian filsafat ini memungkinkan Hawton untuk menghadirkan filsafat sebagai sebuah penjelajahan abadi dalam dunia gagasan. Kita mengetahui bahwa kejayaan ilmu pengetahuan tidak akan pernah habis, karena semakin luas bidang ilmu pengetahuan maka juga semakin tumbuh bidang yang lebih luas untuk berinteraksi dengan yang tidak diketahui. Demikian pula dalam filsafat, pergulatan yang tak pernah berakhir akan terns berlangsung. Menurut pendapat saya pribadi, filsafat bukan merupakan sebuah bidang ilmu untuk dikaji, tetapi merupakan cara untuk mengkaji semua bidang ilmu.
Dalam buku ini, Hawton menerapkan sikap serupa, dan ternyata ia mampu, untuk mencapai hal-hal yang selalu gagal dicapai oleh berbagai tesis: yakni untuk menempatkan perkembangan filsafat dalam perspektif yang benar. Secara sekilas, kemajuan filsafat modern tampaknya sangat destruktif pada karya-karya awalnya. Kenyataan tentang materi adalah bahwa ia merupakan usaha yang lebih pasti yang dilakukan oleh para filsuf untuk menyatakan persoalan mereka dengan lebih eksplisit. Perbincangan mereka selalu cenderung ke arah linguistik untuk sebuah alasan yang pasti. Kita sering bertanya pada diri sendiri ketika dihadapkan dengan proposisi tertentu, apakah pernyataan tersebut benar atau salah. Dewasa ini, kita menyadari bahwa telah ada pertanyaan sebelumnya yang harus kita tanyakan: yaitu, apakah pernyataan tersebut benar-benar memiliki signifikansi. Gelembung-gelembung filosofis yang arogan akan pecah jika ditusuk dengan jarum analitis ini.

Sikap Hawton juga memiliki kualitas lainnya. Ia berhasil memberikan kita sebuah perasaan bahwa persoalan-persoalan filsafat adalah seperti persoalan-persoalan ilmu pengetahuan; yang sama pentingnya dan sama menariknya sebagaimana ketika masa kebangkitan intelektual Yunani kuno. Persoalan-persoalan tersebut tidak terpecahkan sepanjang masa, sebagaimana yang diasumsikan oleh para tradisionalis. Terhadap persoalan itu, para pembaca yang berwawasan ke depan yang mencari jawaban final dari filsafat terhadap semua pertanyaan, saya katakan dengan sungguh-sungguh bahwa buku ini bukanlah untuk mereka. Karena buku ini menghadirkan filsafat sebagai sesuatu yang awet muda, sehingga ia tidak akan pernah bersifat final. Ini merupakan salah satu cara di mana seorang laki-laki menunjukkan bahwa ia sedang tumbuh dewasa: yakni cara kritisisme yang konstan. Filsafat adalah pengganggu bagi kedamaian intelektual, bukan sebagai penenang.
Prof. A. E. Heath

Senin, 16 Juli 2012

Filsafat Carvaka


CÀRVÀKA = ’materialistis’
  1. Sumber dan Ruang Lingkupnya
  2. Epistemologi Càrvàka
  3. Metafisika
  4. Etika
  5. Kesimpulan 

Dalam sebuah manuskrip yang diketemukan baru-baru ini, yang disebut Tattvopaplavasiýha, kita mendapatkan contoh menarik tentang skeptisisme mutlak India. 
Penulisnya, Jayaràúi, barangkali di sekitar abad ke-8 AD dipercaya sebagai seorang Càrvàka (Lokàyatika), tipe yang ekstrim. 
Ia bersikap skeptisisme Càrvàka umumnya pada kesimpulan logisnya dengan menentang keabsahan pengetahuan perseptual sekali pun dan menolak untuk menerima keberadaan unsur-unsur fisik. 
Dengan dialektika penghancuran tak henti-hentinya ia menyingkapkan kelemahan-kelemahan dari semua sumber pengetahuan yang umum diterima. 
Bagaikan seorang pragmatis anti intelektual ia menyimpulkan bahwa dengan menolak segala prinsip-prinsip teoritis dan doktrin-doktrin praktis sekali pun, kehidupan akan tetap berjalan selamanya tanpa masalah perenungan.




2. Epistemologi Carvaka

2. Epistemologi Càrvàka
Keseluruhan filsafat Càrvàka dapat dikatakan secara logis bergantung pada epistemologinya atau pada teori pengetahuan. Masalah pokok dari estimologi adalah: Seberapa jauh kita mengenal realitas? Bagaimana pengetahuan itu muncul dan berkembang? Pertanyaan terakhir ini meliputi seluruh permasalahan: Apakah sumber perbedaan dari pengetahuan tersebut? 

3. Metafisika Carvaka

3. Metafisika Càrvàka
Metafisika adalah teori tentang realitas. Teori kaum Càrvàka tentang realitas mengacu pada kesimpulan epistemologis di atas. Bila persepsi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, secara rasional kita hanya dapat menyatakan realitas-realitas dari obyek yang dapat dipersepsi saja. 

4. Etika (Filsafat Carvaka)

4. Etika (Filsafat Càrvàka)
Etika adalah ilmu tentang moralitas; yang membahas masalah-masalah seperti: 

5. Kesimpulan (Filsafat Carvaka)

5. Kesimpulan (Filsafat Càrvàka)

Seperti kaum Epicurean dari Yunani, kaum Càrvàka di India telah sangat dibenci ketimbang dipahami. Istilah Càrvàka di benak orang-orang secara luas dimaksudkan sebagai celaan. Tetapi bagi para pelajar filsafat sangat berguna untuk selalu ingat juga apa yang diberikan filsafat India pada kaum Càrvàka

Selasa, 10 Juli 2012

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher


  Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (IPA [ˈʃlaɪəmaxə]) (lahir di BreslauSilesia,PrusiaJerman21 November 1768 – meninggal 12 Februari 1834 pada umur 65 tahun) adalah seorang teolog dan filsuf Jerman.[1] 

Hans-Georg Gadamer

Hans-georg-gadamer.jpgHans-Georg Gadamer

  • Tak suatupun yang ada kecuali melalui bahasa.