Senin, 16 Juli 2012

4. Etika (Filsafat Carvaka)

4. Etika (Filsafat Càrvàka)
Etika adalah ilmu tentang moralitas; yang membahas masalah-masalah seperti: 

  • Apakah tujuan tertinggi kehidupan manusia itu dapat dicapai? 
  • Apakah yang seharusnya menjadi tujuan prilaku manusia? 
  • Apakah yang merupakan standar pertimbangan moral itu? 
Kaum Càrvàka membahas masalah-masalah etika ini dalam persesuaian dengan teori-teori metafisika mereka.
Beberapa orang filsuf India seperti para pengikut Mìmàýsa percaya bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah surga (svarga) yang merupakan keadaan bahagia yang tak terlukiskan, yang dapat dicapai nantinya dengan melaksanakan upacara-upacara Vedik disini (dalam kehidupan ini). Kaum Càrvàka menolak pandangan ini, karena hal itu didasarkan pada keberadaan kehidupan setelah mati yang tak dapat dibuktikan. Surga dan neraka merupakan ciptaan para pendeta yang minat profesinya terkandung dalam membujuk, mengancam dan membuat orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara. Orang-orang bijaksana akan senantiasa ditolak dan dibohongi oleh mereka.
Banyak filsuf lain menganggap pembebasan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia dan juga merupakan penghancuran segala penderitaan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu hanya dapat diperoleh setelah kematian, manakala roh terlepas dari badan; sedangkan yang lainnya percaya bahwa hal itu dapat dicapai bahkan dalam kehidupan ini juga. Tetapi kaum Càrvàka berpendapat bahwa tak satupun dari pandangan ini yang didasarkan pada nalar. Bila pembebasan merupakan lepasnya roh dari ikatannya pada keberadaan fisik, maka hal itu tak masuk akal karena tak ada yang namanya roh itu. Tetapi, bila pembebasan disini maksudnya adalah pencapaian keadaan yang terbebas dari segala penderitaan, dalam kehidupan ini juga, maka hal itupun merupakan angan-angan yang tak mungkin terjadi. Kita hanya dapat mengurangi sekecil mungkin penderitaan dan menikmati kesenangan sebanyak mungkin. Pembebasan dalam arti pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan hanya berarti kematian (’maraóam eva apavargah’ - Båhaspati Sùtra). Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini dengan menekan keinginan alami secara ketat dengan berpikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Karena, tak seorang bijaksana pun akan ’menolak daging buah hanya karena ada kulit kerasnya’ atau pun ’batal makan ikan hanya karena ada tulangnya’, atau pun ’batal menanam benih hanya karena ada binatang yang nanti akan merusakkannya’, atau pun ’berhenti memasak makanannya hanya karena kemungkinan para pengemis akan meminta bagiannya’. Bila kita ingat bahwa keberadaan kita sekarang ini ditentukan pada keberadaan badan dan terhadap kehidupan ini kita harus menganggap kesenangan yang muncul pada badan hanya sebagai hal-hal baik yang kita dapat peroleh. Kita hendaknya jangan melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini juga, dan berharap dengan sia-sia akan menikmati kehidupan nantinya. ’Lebih baik seekor burung merpati sekarang ini ketimbang burung merak besok paginya’. ’Sekeping uang receh yang pasti ada ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan perolehannya’. ’Siapakah yang demikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya ditangan orang lain’ (kàma sùtra, bab 2). Karena itu, tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin dalam kehidupan sekarang ini, dengan melenyapkan penderitaan sejauh mungkin. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh kenikmatan. Kegiatan yang baik adalah yang membawa pada keseimbangan kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah yang memberikan penderitaan lebih banyak ketimbang kesenangannnya. Oleh karenanya, etika Càrvàka ini dapat disebut hedonisme atau teori bahwa kesenangan adalah tujuan tertinggi.
Beberapa orang pemikir India menyatakan tentang empat tujuan kehidupan manusia (puruûàrtha), yaitu kekayaan (artha), kenikmatan (kàma), kebajikan (dharma) dan pembebasan (mokûa). Dari keempatnya ini kaum Càrvàka menolak dua hal terakhir. Pembebasan dalam pengertian penghancuran segala penderitaan hanya dapat diperoleh dengan kematian dan tak seorang bijaksana pun yang menginginkan bekerja demi untuk tujuan tersebut. Kebajikan dan kekejian adalah perbedaan yang dibuat oleh kitab úuci, yang otoritasnya tak dapat diterima secara rasional. Oleh karena itu, baik pembebasan maupun kebajikan bukanlah tujuan kehidupan kita. Kekayaan dan kenikmatan lah satu-satunya tujuan yang mestinya dapat dicapai orang bijaksana dengan sekuat tenaga. Tetapi kenikmatan merupakan tujuan tertinggi; sedangkan kekayaan sendiri bukan sebagai tujuan tetapi alat untuk mencapai kenikmatan itu.
Disamping menolak otoritas kitab úuci, pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan setelah mati, kaum Càrvàka tentu saja juga menolak untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau menghindar dari neraka atau pun menghormati roh-roh leluhur. Mereka menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (úràddha) bagi para roh leluhur dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang yang tinggal dilantai atasnya. Bila para pendeta benar-benar percaya, seperti yang mereka katakan, bahwa binatang-binatang yang dibantai pada saat upacara kurban (yajña) pasti mencapai surga, mengapa mereka tidak membunuh orang tua mereka sendiri ketimbang binatang dan memastikannya mencapai surga?
Dengan demikian agama dirubah menjadi moralitas dan moralitas untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaum Càrvàka hanyalah berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialitisnya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar