4.
Etika (Filsafat Càrvàka)
Etika adalah ilmu tentang moralitas;
yang membahas masalah-masalah seperti:
- Apakah tujuan tertinggi kehidupan manusia itu dapat dicapai?
- Apakah yang seharusnya menjadi tujuan prilaku manusia?
- Apakah yang merupakan standar pertimbangan moral itu?
Beberapa orang filsuf India seperti
para pengikut Mìmàýsa percaya bahwa tujuan tertinggi kehidupan
manusia adalah surga (svarga) yang merupakan keadaan bahagia yang
tak terlukiskan, yang dapat dicapai nantinya dengan melaksanakan
upacara-upacara Vedik disini (dalam kehidupan ini). Kaum Càrvàka
menolak pandangan ini, karena hal itu didasarkan pada keberadaan kehidupan
setelah mati yang tak dapat dibuktikan. ’Surga’ dan ’neraka’
merupakan ciptaan para pendeta yang minat profesinya terkandung dalam membujuk,
mengancam dan membuat orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara. Orang-orang
bijaksana akan senantiasa ditolak dan dibohongi oleh mereka.
Banyak filsuf lain menganggap
pembebasan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia dan juga merupakan
penghancuran segala penderitaan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu
hanya dapat diperoleh setelah kematian, manakala roh terlepas dari badan;
sedangkan yang lainnya percaya bahwa hal itu dapat dicapai bahkan dalam
kehidupan ini juga. Tetapi kaum Càrvàka berpendapat bahwa
tak satupun dari pandangan ini yang didasarkan pada nalar. Bila pembebasan
merupakan lepasnya roh dari ikatannya pada keberadaan fisik, maka hal itu tak
masuk akal karena tak ada yang namanya roh itu. Tetapi, bila pembebasan disini
maksudnya adalah pencapaian keadaan yang terbebas dari segala penderitaan,
dalam kehidupan ini juga, maka hal itupun merupakan angan-angan yang tak
mungkin terjadi. Kita hanya dapat mengurangi sekecil mungkin penderitaan dan
menikmati kesenangan sebanyak mungkin. Pembebasan dalam arti pembebasan
sepenuhnya dari segala penderitaan hanya berarti kematian (’maraóam eva
apavargah’ - Båhaspati Sùtra). Mereka yang mencoba untuk
mencapai keadaan bebas dari kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini
dengan menekan keinginan alami secara ketat dengan berpikir bahwa segala
kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah
bertindak seperti orang-orang tolol. Karena, tak seorang bijaksana pun akan ’menolak
daging buah hanya karena ada kulit kerasnya’ atau pun ’batal makan ikan
hanya karena ada tulangnya’, atau pun ’batal menanam benih hanya karena
ada binatang yang nanti akan merusakkannya’, atau pun ’berhenti memasak
makanannya hanya karena kemungkinan para pengemis akan meminta bagiannya’.
Bila kita ingat bahwa keberadaan kita sekarang ini ditentukan pada keberadaan
badan dan terhadap kehidupan ini kita harus menganggap kesenangan yang muncul
pada badan hanya sebagai hal-hal baik yang kita dapat peroleh. Kita hendaknya
jangan melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini juga, dan berharap dengan
sia-sia akan menikmati kehidupan nantinya. ’Lebih baik seekor burung merpati
sekarang ini ketimbang burung merak besok paginya’. ’Sekeping uang receh yang
pasti ada ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan
perolehannya’. ’Siapakah yang demikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya
ditangan orang lain’ (kàma sùtra, bab 2). Karena itu,
tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin
dalam kehidupan sekarang ini, dengan melenyapkan penderitaan sejauh mungkin.
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh kenikmatan. Kegiatan yang baik
adalah yang membawa pada keseimbangan kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah
yang memberikan penderitaan lebih banyak ketimbang kesenangannnya. Oleh
karenanya, etika Càrvàka ini dapat disebut hedonisme atau teori
bahwa kesenangan adalah tujuan tertinggi.
Beberapa orang pemikir India
menyatakan tentang empat tujuan kehidupan manusia (puruûàrtha),
yaitu kekayaan (artha), kenikmatan (kàma),
kebajikan (dharma) dan pembebasan (mokûa). Dari
keempatnya ini kaum Càrvàka menolak dua hal terakhir. Pembebasan
dalam pengertian penghancuran segala penderitaan hanya dapat diperoleh dengan
kematian dan tak seorang bijaksana pun yang menginginkan bekerja demi untuk
tujuan tersebut. Kebajikan dan kekejian adalah perbedaan yang dibuat oleh kitab
úuci, yang otoritasnya tak dapat diterima secara rasional. Oleh karena itu, baik
pembebasan maupun kebajikan bukanlah tujuan kehidupan kita. Kekayaan dan
kenikmatan lah satu-satunya tujuan yang mestinya dapat dicapai orang bijaksana
dengan sekuat tenaga. Tetapi kenikmatan merupakan tujuan tertinggi; sedangkan kekayaan
sendiri bukan sebagai tujuan tetapi alat untuk mencapai kenikmatan itu.
Disamping menolak otoritas kitab
úuci, pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan setelah
mati, kaum Càrvàka tentu saja juga menolak untuk
melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau
menghindar dari neraka atau pun menghormati roh-roh leluhur. Mereka
menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang
dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (úràddha) bagi
para roh leluhur dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan
bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas
namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan
makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang
yang tinggal dilantai atasnya. Bila para pendeta benar-benar percaya, seperti
yang mereka katakan, bahwa binatang-binatang yang dibantai pada saat upacara
kurban (yajña) pasti mencapai surga, mengapa mereka tidak membunuh
orang tua mereka sendiri ketimbang binatang dan memastikannya mencapai surga?
Dengan demikian agama dirubah menjadi
moralitas dan moralitas untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaum Càrvàka
hanyalah berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialitisnya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar