2.
Epistemologi Càrvàka
Keseluruhan filsafat Càrvàka
dapat dikatakan secara logis bergantung pada epistemologinya atau pada
teori pengetahuan. Masalah pokok dari estimologi adalah: Seberapa jauh kita
mengenal realitas? Bagaimana pengetahuan itu muncul dan berkembang? Pertanyaan
terakhir ini meliputi seluruh permasalahan: Apakah sumber perbedaan dari
pengetahuan tersebut?
Permasalahan-permasalahan ini membentuk salah satu topik
utama dari epistemologi India. Pengetahuan tentang realitas atau pengenalan
yang sah disebut pramà dan sumber pengetahuan semacam itu disebut pramàóa.
Càrvàka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramàóa
atau sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Untuk menegakkan posisi ini ia
mengkritik kemungkinan sumber lain dari pengetahuan, seperti : penyimpulan dan
kesaksian yang dianggap sebagai pramàóa yang sah oleh banyak
filsuf.
2.1. Penyimpulan yang tidak pasti
Bila penyimpulan itu dianggap sebagai suatu
pramàóa, ia harus menghasilkan pengetahuan yang membuat kita tidak
ragu-ragu dan yang harus menjadi nyata bagi realitas itu. Tetapi, penyimpulan
tak dapat memenuhi kondisi ini, karena manakala kita, umpamanya menyimpulkan
adanya api di sebuah gunung dari persepsi adanya asap disana, maka kita akan
menerima sesuatu yang dikerjakan tanpa mengetahui bagaimana hasilnya nanti,
dari asap yang terlihat terhadap adanya api yang tak terlihat. Ahli ilmu logika
seperti kaum Naiyayika, mungkin akan menunjukkan bahwa lompatan
semacam itu dibenarkan oleh pengetahuan sebelumnya tentang keserentakan yang
tetap antara asap dan api, dan bahwa penyimpulan yang dinyatakan sepenuhnya
akan menjadi: Segala permasalahan tentang asap juga merupakan permasalahan api;
dimana gunung ini merupakan satu kasus tentang asap, sehingga ia juga merupakan
kasus tentang api.
Càrvàka menunjukkan bahwa pendirian ini hanya dapat
diterima bilamana dalil utama yang menyatakan hubungan yang tetap atara syarat
menengah (asap) dan utama (api), benar-benar meyakinkan. Tetapi hubungan yang
tetap (vyàpti) hanya dapat ditegakkan bila kita memiliki
pengetahuan tentang semua kasus tentang asap dan kehadiran api. Bagaimana pun
juga hal ini tak mungkin, karena kita tak dapat mengetahui seluruh kasus
tentang asap dan api yang sekarang ada pada bagian dunia yang berbeda-beda,
untuk tak mengatakan sesuatupun tentang hal itu yang ada di masa lalu atau pun
yang akan ada nanti. Oleh karena itu, ketidak tetapan hubungan universal (vyàpti)
dapat ditegakkan dengan persepsi. Keduanya tak dapat dikatakan sebagai
didasarkan pada penyimpulan lain, karena ia akan meliputi suatu ’petitio
principii’ (menimbulkan pertanyaan lain), karena validitas dari
penyimpulan itu harus sama-sama dibuktikan. Atau vyàpti ini tidak
dapat didasarkan pada kesaksian (úabda) dari orang yang dapat
dipercaya (yang menyatakan bahwa semua kasus asap adalah kasus api juga).
Karena, validitas kesaksian itu sendiri perlu dibuktikan dengan penyimpulan.
Disamping itu, bila penyimpulsn selalu bergantung pada kesaksian, maka tak
seorangpun dapat menyimpulkan sesuatu oleh dirinya sendiri.
Tetapi hal itu dapat dipertanyakan: Walaupun tak mungkin untuk
mengetahui segala kasus tentang asap dan api secara pribadi, apakah tak mungkin
untuk mengetahui watak kelompok tetap (sàmànya) seperti ’sifat
asap’ dan ’sifat api’ yang harus hadir secara tetap dalam segala
contoh dari asap dan api? Bila demikian, tidak dapatkah kita mengatakan bahwa
setidak-tidaknya kita memahami hubungan antara sifat asap dan sifat api dan
dengan bantuannya berkesimpulan akan adanya api dimanapun kita melihat adanya
asap. Kaum Càrvàka menjawab bahwa walaupun kita mengakui persepsi
dari hubungan antara sifat asap dan sifat api, kita tak dapat mengetahui dari
sana hubungan tetap antara semua kasus individual dari asap dan api. Untuk
mampu menyimpulkan api tertentu, kita harus tahu bahwa itu merupakan hubungan
yang tak terpisahkan terhadap asap tertentu yang terlihat itu. Dalam
kenyataannya kita bahkan tak mungkin untuk mengetahui dengan persepsi ’sifat
asap’ apa atau tingkat karakter universal apa yang ada dalam semua contoh
asap tertentu tersebut, karena kita tidak menerima seluruh kasus asap itu. Apa
yang dijumpai sebagai kehadiran secara universal dalam memahami kasus asap
tersebut mungkin tidak ada dalam kasus yang tak di terima. Kesulitan pemahaman
dari yang tertentu menuju yang universal tetap ada disini seperti sebelumnya.
Tetapi itu dapat dipertanyakan sebagai
berikut: bila kita tidak mempercayai pada hukum universal yang ditetapkan yang
mendasari fenomena dunia ini bagaimana mungkin kita menjelaskan keseragaman
yang dimiliki obyek-obyek yang dialami itu? Mengapa api selalu dialami sebagai
panas dan air sebagai dingin. Kaum Càrvàka menjawab bahwa hal itu
disebabkan oleh sifat bawaan (svabhàva) dari benda-benda yang
memiliki karakter tertentu.Tak ada pengandaian supra natural yang diperlukan
untuk memberikan penjelasan tentang sifat-sifat dari obyek-obyek alam yang
dialami. Dan juga tak ada suatu jaminan bahwa keseragaman yang di pahami dimasa
lalu akan berlanjut di masa depan.
Siswa modern tentang logika penyimpulan akan
tergoda untuk menanyai kaum Càrvàka: ”Tidak dapatkah kita
mendasarkan pengetahuan kita tentang hubungan tetap antara asap dan api pada
hubungan kausal antara mereka?” Kaum Càrvàka menjawab bahwa
hubungan kausal hanya terjadi sebagai hubungan tetap dan tak dapat dikukuhkan
oleh persepsi kesulitan yang sama.
Kaum Càrvàka selanjutnya akan menunjukkan bahwa
hubungan tetap kausal atau lainnya tak dapat dikukuhkan semata-mata oleh
persepsi berulang-ulang dari dua hal yang terjadi bersama-sama. Karena orang
harus yakin bahwa tak ada kondisi lain yang tak dipahami (upàdhi)
sebagai tempat bergantung hubungan tersebut. Umpamanya, bila seseorang
mengetahui beberapa kali adanya api yang disertai asap dan pada kesempatan lain
ia menyimpulkan adanya asap pada api yang dilihatnya, ia akan cenderung pada
kesalahan, karena ia gagal untuk memperhatikan suatu kondisi (upàdhi),
yaitu basahnya kayu bakar, karena hanya pada kondisi itulah api diselimuti
oleh asap. Selama hubungan antara dua fenomena itu tidak terbukti sebagai tak
terkondisikan, maka itu merupakan dasar yang tidak pasti bagi suatu
penyimpulan. Dan tak terkondisikan atau absennya kondisi itu tak dapat
dikukuhkan mengatasi keragu-raguan dengan persepsi, seperti beberapa kondisi
yang mungkin selalu tersembunyi dan terlepas dari perhatian. Penyimpulan atau
penyaksian tak dapat dipergunakan untuk membuktikan yang tak terkondisikan ini
tanpa menimbulkan pertanyaan, karena keabsahannya juga akan dipertanyakan
disini.
Benar bahwa dalam kehidupan ini kita sangat
sering berbuat tanpa kecurigaan sama sekali terhadap penyimpulan. Tetapi hal
itu hanya menunjukkan bahwa kita bertindak tidak kritis pada kepercayaan salah
yang kita simpulkan sebagai benar. Itu merupakan suatu kenyataan bahwa
kadang-kadang penyimpulan kita benar dan menghantar pada keberhasilan. Tetapi
juga merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan itu membawa kita
pada kekeliruan. Kebenaran kemudian bukanlah suatu karakter yang tiada
habis-habisnya dari segala penyimpulan; tetapi hanya merupakan suatu kecelakaan
dan suatu penyimpulan yang dapat dipisahkan, yang hanya kita jumpai dalam
beberapa penyimpulan.
Oleh karena itu, penyimpulan tak dapat
dianggap sebagai suatu pramàóa - suatu sumber pengenalan pasti
yang sah.
2.2. Penyaksian bukanlah Sumber Pengetahuan
yang aman
Tetapi, tak dapatkah kita menganggap penyaksian
dari orang yang berwewenang sebagai sumber pengetahuan yang sah dan aman?
Tidakkah kita sering kali berbuat atas dasar pengetahuan yang diterima dari
suatu otoritas? Kaum Càrvàka menjawab bahwa kesaksian terdiri
dari kata-kata (úabda). Sejauh kata-kata itu didengar melalui
telinga kita, maka ia dapat diterima (dipahami). Oleh karena itu, pengetahuan
dari kata-kata melalui persepsi masih tetap sah; tetapi seberapa jauh kata-kata
ini terlintas atau tidak masuk dalam pemahaman kita dan membantu dalam memberikan
pengetahuan tentang obyek-obyek yang tak diketahui itu kepada kita, mereka
tidak bebas dari kesalahan-kesalahan atau pun meragukan. Sangat sering kita
disesatkan oleh otoritas-otoritas semacam itu. Umpamanya otoritas Veda,
dipandang sangat berharga oleh banyak orang; tetapi dalam kenyataannya Veda
merupakan karya-beberapa orang pendeta licik yang memperoleh penghidupan mereka
dengan cara membohongi orang-orang bodoh dan mereka yang mudah percaya. Dengan
harapan dan janji-janji palsu, Veda membujuk orang-orang untuk
melaksanakan upacara-upacara Vedik, dimana manfaatnya yang jelas
hanya dinikmati para pendeta yang melayani dan mendapatkan upah dari padanya.
Tetapi bukankah pengetahuan kita akan sangat
terbatas dan kehidupan praktis akan tak mungkin dijalani, apabila kita tidak
mengindahkan kata-kata dari mereka yang berpengalaman dan tidak bergantung pada
nasehat ahlinya? Càrvàka menjawab bahwa selama kita bergantung
pada suatu otoritas karena kita berpikir bahwa itu dapat dipercaya, pengetahuan
yang diperoleh benar-benar di dasarkan pada penyimpulan; karena kepercayaan
kita muncul oleh proses mental seperti ini: Otoritas ini harus diterima karena
ia dapat dipercaya dan semua otoritas yang dapat dipercaya harus diterima.
Dengan mendasarkannya pada penyimpulan, pengetahuan yang diperoleh dari
penyaksian verbal atau otoritas itu sama bahayanya dengan penyimpulan. Dan
seperti juga halnya dalam hal penyimpulan, disini kita sering bertindak
berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari otoritas pada kepercayaan yang
salah, yang dapat dipercaya tersebut. Kadang-kadang kepercayaan ini secara
kebetulan memberikan keberhasilan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu otoritas
atau penyaksian tak dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah dan
aman.
Karena baik penyimpulan maupun otoritas
dapat dibuktikan sebagai tak dapat dipercaya maka persepsi harus dianggap
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah (pramàóa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar