Senin, 16 Juli 2012

2. Epistemologi Carvaka

2. Epistemologi Càrvàka
Keseluruhan filsafat Càrvàka dapat dikatakan secara logis bergantung pada epistemologinya atau pada teori pengetahuan. Masalah pokok dari estimologi adalah: Seberapa jauh kita mengenal realitas? Bagaimana pengetahuan itu muncul dan berkembang? Pertanyaan terakhir ini meliputi seluruh permasalahan: Apakah sumber perbedaan dari pengetahuan tersebut? 

Permasalahan-permasalahan ini membentuk salah satu topik utama dari epistemologi India. Pengetahuan tentang realitas atau pengenalan yang sah disebut pramà dan sumber pengetahuan semacam itu disebut pramàóa. Càrvàka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramàóa atau sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Untuk menegakkan posisi ini ia mengkritik kemungkinan sumber lain dari pengetahuan, seperti : penyimpulan dan kesaksian yang dianggap sebagai pramàóa yang sah oleh banyak filsuf.

2.1. Penyimpulan yang tidak pasti
Bila penyimpulan itu dianggap sebagai suatu pramàóa, ia harus menghasilkan pengetahuan yang membuat kita tidak ragu-ragu dan yang harus menjadi nyata bagi realitas itu. Tetapi, penyimpulan tak dapat memenuhi kondisi ini, karena manakala kita, umpamanya menyimpulkan adanya api di sebuah gunung dari persepsi adanya asap disana, maka kita akan menerima sesuatu yang dikerjakan tanpa mengetahui bagaimana hasilnya nanti, dari asap yang terlihat terhadap adanya api yang tak terlihat. Ahli ilmu logika seperti kaum Naiyayika, mungkin akan menunjukkan bahwa lompatan semacam itu dibenarkan oleh pengetahuan sebelumnya tentang keserentakan yang tetap antara asap dan api, dan bahwa penyimpulan yang dinyatakan sepenuhnya akan menjadi: Segala permasalahan tentang asap juga merupakan permasalahan api; dimana gunung ini merupakan satu kasus tentang asap, sehingga ia juga merupakan kasus tentang api.
Càrvàka menunjukkan bahwa pendirian ini hanya dapat diterima bilamana dalil utama yang menyatakan hubungan yang tetap atara syarat menengah (asap) dan utama (api), benar-benar meyakinkan. Tetapi hubungan yang tetap (vyàpti) hanya dapat ditegakkan bila kita memiliki pengetahuan tentang semua kasus tentang asap dan kehadiran api. Bagaimana pun juga hal ini tak mungkin, karena kita tak dapat mengetahui seluruh kasus tentang asap dan api yang sekarang ada pada bagian dunia yang berbeda-beda, untuk tak mengatakan sesuatupun tentang hal itu yang ada di masa lalu atau pun yang akan ada nanti. Oleh karena itu, ketidak tetapan hubungan universal (vyàpti) dapat ditegakkan dengan persepsi. Keduanya tak dapat dikatakan sebagai didasarkan pada penyimpulan lain, karena ia akan meliputi suatu petitio principii (menimbulkan pertanyaan lain), karena validitas dari penyimpulan itu harus sama-sama dibuktikan. Atau vyàpti ini tidak dapat didasarkan pada kesaksian (úabda) dari orang yang dapat dipercaya (yang menyatakan bahwa semua kasus asap adalah kasus api juga). Karena, validitas kesaksian itu sendiri perlu dibuktikan dengan penyimpulan. Disamping itu, bila penyimpulsn selalu bergantung pada kesaksian, maka tak seorangpun dapat menyimpulkan sesuatu oleh dirinya sendiri.

Tetapi hal itu dapat dipertanyakan: Walaupun tak mungkin untuk mengetahui segala kasus tentang asap dan api secara pribadi, apakah tak mungkin untuk mengetahui watak kelompok tetap (sàmànya) seperti ’sifat asap’ dan ’sifat api’ yang harus hadir secara tetap dalam segala contoh dari asap dan api? Bila demikian, tidak dapatkah kita mengatakan bahwa setidak-tidaknya kita memahami hubungan antara sifat asap dan sifat api dan dengan bantuannya berkesimpulan akan adanya api dimanapun kita melihat adanya asap. Kaum Càrvàka menjawab bahwa walaupun kita mengakui persepsi dari hubungan antara sifat asap dan sifat api, kita tak dapat mengetahui dari sana hubungan tetap antara semua kasus individual dari asap dan api. Untuk mampu menyimpulkan api tertentu, kita harus tahu bahwa itu merupakan hubungan yang tak terpisahkan terhadap asap tertentu yang terlihat itu. Dalam kenyataannya kita bahkan tak mungkin untuk mengetahui dengan persepsi ’sifat asap’ apa atau tingkat karakter universal apa yang ada dalam semua contoh asap tertentu tersebut, karena kita tidak menerima seluruh kasus asap itu. Apa yang dijumpai sebagai kehadiran secara universal dalam memahami kasus asap tersebut mungkin tidak ada dalam kasus yang tak di terima. Kesulitan pemahaman dari yang tertentu menuju yang universal tetap ada disini seperti sebelumnya.
Tetapi itu dapat dipertanyakan sebagai berikut: bila kita tidak mempercayai pada hukum universal yang ditetapkan yang mendasari fenomena dunia ini bagaimana mungkin kita menjelaskan keseragaman yang dimiliki obyek-obyek yang dialami itu? Mengapa api selalu dialami sebagai panas dan air sebagai dingin. Kaum Càrvàka menjawab bahwa hal itu disebabkan oleh sifat bawaan (svabhàva) dari benda-benda yang memiliki karakter tertentu.Tak ada pengandaian supra natural yang diperlukan untuk memberikan penjelasan tentang sifat-sifat dari obyek-obyek alam yang dialami. Dan juga tak ada suatu jaminan bahwa keseragaman yang di pahami dimasa lalu akan berlanjut di masa depan.
Siswa modern tentang logika penyimpulan akan tergoda untuk menanyai kaum Càrvàka: ”Tidak dapatkah kita mendasarkan pengetahuan kita tentang hubungan tetap antara asap dan api pada hubungan kausal antara mereka?” Kaum Càrvàka menjawab bahwa hubungan kausal hanya terjadi sebagai hubungan tetap dan tak dapat dikukuhkan oleh persepsi kesulitan yang sama.

Kaum Càrvàka selanjutnya akan menunjukkan bahwa hubungan tetap kausal atau lainnya tak dapat dikukuhkan semata-mata oleh persepsi berulang-ulang dari dua hal yang terjadi bersama-sama. Karena orang harus yakin bahwa tak ada kondisi lain yang tak dipahami (upàdhi) sebagai tempat bergantung hubungan tersebut. Umpamanya, bila seseorang mengetahui beberapa kali adanya api yang disertai asap dan pada kesempatan lain ia menyimpulkan adanya asap pada api yang dilihatnya, ia akan cenderung pada kesalahan, karena ia gagal untuk memperhatikan suatu kondisi (upàdhi), yaitu basahnya kayu bakar, karena hanya pada kondisi itulah api diselimuti oleh asap. Selama hubungan antara dua fenomena itu tidak terbukti sebagai tak terkondisikan, maka itu merupakan dasar yang tidak pasti bagi suatu penyimpulan. Dan tak terkondisikan atau absennya kondisi itu tak dapat dikukuhkan mengatasi keragu-raguan dengan persepsi, seperti beberapa kondisi yang mungkin selalu tersembunyi dan terlepas dari perhatian. Penyimpulan atau penyaksian tak dapat dipergunakan untuk membuktikan yang tak terkondisikan ini tanpa menimbulkan pertanyaan, karena keabsahannya juga akan dipertanyakan disini.

Benar bahwa dalam kehidupan ini kita sangat sering berbuat tanpa kecurigaan sama sekali terhadap penyimpulan. Tetapi hal itu hanya menunjukkan bahwa kita bertindak tidak kritis pada kepercayaan salah yang kita simpulkan sebagai benar. Itu merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan kita benar dan menghantar pada keberhasilan. Tetapi juga merupakan suatu kenyataan bahwa kadang-kadang penyimpulan itu membawa kita pada kekeliruan. Kebenaran kemudian bukanlah suatu karakter yang tiada habis-habisnya dari segala penyimpulan; tetapi hanya merupakan suatu kecelakaan dan suatu penyimpulan yang dapat dipisahkan, yang hanya kita jumpai dalam beberapa penyimpulan.
Oleh karena itu, penyimpulan tak dapat dianggap sebagai suatu pramàóa - suatu sumber pengenalan pasti yang sah.

2.2. Penyaksian bukanlah Sumber Pengetahuan yang aman
Tetapi, tak dapatkah kita menganggap penyaksian dari orang yang berwewenang sebagai sumber pengetahuan yang sah dan aman? Tidakkah kita sering kali berbuat atas dasar pengetahuan yang diterima dari suatu otoritas? Kaum Càrvàka menjawab bahwa kesaksian terdiri dari kata-kata (úabda). Sejauh kata-kata itu didengar melalui telinga kita, maka ia dapat diterima (dipahami). Oleh karena itu, pengetahuan dari kata-kata melalui persepsi masih tetap sah; tetapi seberapa jauh kata-kata ini terlintas atau tidak masuk dalam pemahaman kita dan membantu dalam memberikan pengetahuan tentang obyek-obyek yang tak diketahui itu kepada kita, mereka tidak bebas dari kesalahan-kesalahan atau pun meragukan. Sangat sering kita disesatkan oleh otoritas-otoritas semacam itu. Umpamanya otoritas Veda, dipandang sangat berharga oleh banyak orang; tetapi dalam kenyataannya Veda merupakan karya-beberapa orang pendeta licik yang memperoleh penghidupan mereka dengan cara membohongi orang-orang bodoh dan mereka yang mudah percaya. Dengan harapan dan janji-janji palsu, Veda membujuk orang-orang untuk melaksanakan upacara-upacara Vedik, dimana manfaatnya yang jelas hanya dinikmati para pendeta yang melayani dan mendapatkan upah dari padanya.
Tetapi bukankah pengetahuan kita akan sangat terbatas dan kehidupan praktis akan tak mungkin dijalani, apabila kita tidak mengindahkan kata-kata dari mereka yang berpengalaman dan tidak bergantung pada nasehat ahlinya? Càrvàka menjawab bahwa selama kita bergantung pada suatu otoritas karena kita berpikir bahwa itu dapat dipercaya, pengetahuan yang diperoleh benar-benar di dasarkan pada penyimpulan; karena kepercayaan kita muncul oleh proses mental seperti ini: Otoritas ini harus diterima karena ia dapat dipercaya dan semua otoritas yang dapat dipercaya harus diterima. Dengan mendasarkannya pada penyimpulan, pengetahuan yang diperoleh dari penyaksian verbal atau otoritas itu sama bahayanya dengan penyimpulan. Dan seperti juga halnya dalam hal penyimpulan, disini kita sering bertindak berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari otoritas pada kepercayaan yang salah, yang dapat dipercaya tersebut. Kadang-kadang kepercayaan ini secara kebetulan memberikan keberhasilan kadang-kadang tidak. Oleh karena itu otoritas atau penyaksian tak dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan yang sah dan aman.
Karena baik penyimpulan maupun otoritas dapat dibuktikan sebagai tak dapat dipercaya maka persepsi harus dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah (pramàóa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar