PENEMUAN AKAL BUDI
Runtuhnya Mesir, bangkitnya Persia, pergulatan antara kelas pedagang dan pemilik tanah aristrokrat untuk menguasai negara-kota, adalah peristiwa yang mula-mula menjadi pertanyaan yang diajukan oleh para filosuf.
Peradaban besar Nil dan Eufrat adalah peradaban konservatif. Sains mereka
bersifat praktis bukannya teoretis. Sains mereka bersangkutan dengan masalah-masalah
teknik sipil, irigasi, penyusunan kalender yang benar, dan semua itu ada di
tangan para pendeta yang mempertahankan pandangan mitis tentang asal-usul alam
semesta. Yang mengherankan, agama Yunani terbebas dari kependetaan. Baik Homer
maupun Hesiod tidak terlalu ta’zim kepada dewa-dewa mereka, dan mereka tidak
pernah mengajarkan bahwa dunia diciptakan oleh para dewa. Sebaliknya, hingga
abad kedelapan diajarkan (oleh Hesiod) bahwa Chaos menciptakan bumi,
yang selanjutnya menciptakan langit; dan segala sesuatu lainnya berasal dari
pasangan langit dan bumi.
Alam semesta kecillah yang menjadi
bahan pemikiran orang-orang Yunani. Bintang-bintang adalah lilin-lilin malam
hari bukannya sebagai matahari-matahari; tetapi semua itu bukan dewa-dewa
sebagaimana anggapan orang Babylonia. Bintang-bintang adalah keturunan bumi,
dan Anaximander (611-547 S.M.) tampaknya telah menggambarkan bahwa bumi lambat
laun mengering karena menguap, dan manusia pada mulanya muncul sebagai makhluk
yang menyerupai ikan dari lautan. Dari sinilah berkembangnya teori evolusi
sebagai perhatian utama, dan dari sinilah dilakukan usaha awal untuk
menjelaskan tentang asal-usul yang bersifat alamiah.
Masalah lainnya yang perlu
diperhatikan di antara semua ini adalah bahwa orang Yunani berpandangan
materialis. Mereka tidak mempunyai pandangan tentang Tuhan yang immaterial,
jiwa yang immaterial, atau kekuatan yang immaterial. Ketika mereka berkata
bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan menjadi air, atau kabut, atau apt,
mereka tidak bermaksud mengatakan tentang adanya substansi di balik air, kabut,
atau api. Ketika Empedocles (445 S.M.) berkata bahwa empat unsur utama
digerakkan oleh dua kekuatan, yakni Cinta dan Benci, ia tidak berkata secara
metaforis. Kekuatan-kekuatan yang dimaksud oleh Empedocles adalah zat cair.
Kekuatan-kekuatan itu sebangsa benda, sebagaimana pada zaman primitif, bahkan
keadilan dipandang sebagai sebentuk benda, yang jika bersirkulasi secara benar
menyebabkan matahari akan bersinar dan tanaman akan tumbuh.
Pengetahuan kita tentang berbagai
kontroversi yang muncul kemudian menjadikan sulit bagi kita untuk membayangkan
hal-hal sederhana semacam itu. Tetapi tidak ada kontroversi bagi kaum Ionian
untuk menengok ke belakang. Semua yang telah diwariskan merupakan teori magis
tentang hal-hal yang misterius — yaitu semacam mana — yang
tersebar secara merata di seluruh benda-benda alam semesta. Hal-hal yang
misterius ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, sehingga
ia bukan merupakan hal yang sama sekali baru untuk dipikirkan, tentang realitas
di balik tirai penampakan. Hal-hal yang baru ini menyelidiki realitas melalui
akal budi.
Terbuat dari apakah dunia ini? mereka
bertanya. Segala sesuatu yang kita lihat ini bahannya tersusun dari apa?
Mengapa berbagai benda memiliki bentuk dan warna yang berbeda-beda, dan mengapa
benda-benda itu bergerak? Anaximander berkesimpulan bahwa hanya ada satu bentuk
substansi, dan segala sesuatu di dunia ini merupakan sebagian bentuk darinya.
Ia menyebut substansi ini sebagai Tidak Terbatas. Ia ada dari semua keabadian,
lingkupnya tidak terbatas, dan ia dapat bergerak. Materi kasar ini tidak dapat
dilihat atau dirasakan dengan pencerapan, tetapi ia dapat diketahui dengan
Pikiran.
Untuk tujuan kita kali ini, kita
tidak perlu membahasnya secara detail tentang teka-teki ini. Cukuplah diketahui
tentang gagasan-gagasan
penting yang banyak dicampakkan sebagai akibat dari penjelajahan berpikir.
Tetapi kepercayaan tentang kesatuan di balik berbagai perubahan penampakan, dan
keyakinan bahwa akal budi dapat menyingkap kebenaran yang lebih dalam ketimbang
indera merupakan persoalan yang sangat penting.
Problema Tentang Perubahan
Persoalan ini diangkat dan bahkan memperoleh perhatian yang
lebih tajam oleh Heraclitus (504 S.M.). Ia dengan berani menentang bukti
tentang akal budi dan bukti tentang indera. Mata dan telinga, ia berkata,
merupakan saksi yang baru; sehingga pikiran harus menginterpretasikan
bukti-buktinya, dan kepahaman terletak dalam interpretasi. Kepahaman, atau akan
kita sebut dengan Kebenaran — tidak hanya diperoleh melalui pengamatan. Ia
mencakup penggunaan akal budi untuk melihat dan memahami kesatuan di balik
keragaman, jika tidak demikian tentu akan membingungkan indera. Di mana pun
anda melihat, anda akan melihat terjadinya perubahan-perubahan. “Segala sesuatu
dalam keadaan bergerak dan tidak ada sesuatu yang diam.”
Jadi, pertanyaan yang diajukan oleh
Thales dan Anaximander diperbaharui oleh Heraclitus. Ia menerima kepercayaan
mereka bahwa akal budi dapat mengetahui hal-hal yang mendasari kesatuan dunia,
tetapi ia bertanya bagaimanakah kesatuan ini dapat diselaraskan dengan fakta
tentang perubahan? Ia mengajukan sebuah pertanyaan di mana jawaban yang sangat
memuaskan telah diketemukan, dan pada zaman kita, para filosuf terutama
berpegang pada pandangan yang telah diletakkan oleh Bergson. Jawaban yang
diberikan Heraclitus memberikan inspirasi kepada sistem Hegel yang sangat
mengagumkan. Sayangnya, kita hanya memiliki beberapa bagian buku tersebut yang
ia simpan di kuil Ephesus, di mana ia merupakan keturunan raja-pendeta.
Fakta tentang perubahan menjadikan sulit untuk menjelaskan
tentang perilaku substansi misterius di balik yang tampak, seakan-akan ia
tersusun dari bongkahan benda tak bergerak. Karena, kapan saja terjadi perubahan
— dan perubahan itu selalu terjadi —segala sesuatu menjadi berbeda, namun
segala sesuatu harus tetap sama. Maka menurut Heraclitus bahan terbuatnya dunia
bukan air, tetapi api.
Sesungguhnya, materi itu adalah
sejenis api yang bersinar dan meredup, menyala-nyala dan padam yang tunduk pada
hukum. “Matahari tidak akan menyimpang dari jalan tertentu; tetapi jika itu
dilakukan, maka dewa-dewa Nasib dan penguasa Keadilan akan mengetahuinya ...
Aturan dunia, yang bersifat sama terhadap segala sesuatu, belum dibuat, baik
oleh seorang dewa atau seorang manusia. Selalu saja demikian dan akan terus
demikian, sebuah api yang hidup abadi, dengan hukum yang mengatur nyalanya dan
hukum yang mengatur padamnya.”
Untuk menerjemahkan bahasa yang indah
seperti ini ke dalam bahasa modern hampir-hampir mustahil tanpa menambahkannya
secara diam-diam. Tetapi di sini, dalam bentuk embrionya, hal ini merupakan
gagasan yang mendasar sehingga dunia harus diinterpretasikan berdasarkan
prosesnya, bukan bendanya. Stabilitas yang terlihat yang menjadikan kita
menyalahkan proses berbagai hal bagaikan stabilitas yang terlihat pada sebuah
nyala di tempat tanpa angin sehingga benda itu terlihat seperti benda padat. Heraclitus
menjelaskan stabilitas ini sebagai sejenis keseimbangan yang dicapai oleh
kekuatan yang berlawanan di dalam proses yang sama. Ketegangan internal ini,
yang disebabkan oleh unsur-unsur yang bertentangan, merupakan sumber
perkembangan dari benda itu. “Segala sesuatu berkembang karena perjuangan dan
kebutuhan.”
Pertanyaan “Terbuat dari apakah dunia
ini?” sesungguhnya telah menyebabkan munculnya pertanyaan “Bagaimanakah dunia
ini berubah?” Dengan berlangsungnya transisi, maka terjadilah berbagai
pemikiran luar biasa yang menarik perhatian para sejarawan saat ini, tetapi
terlepas dari jawabannya yang detail, ada sejumlah gagasan yang sangat
cemerlang yang memperkaya intelektualitas.
Gagasan-gagasan penting yang muncul
adalah:
- (a) Bahwa dunia ini diatur oleh keniscayaan (hukum);
- (b) Bahwa hukum-hukum tersebut dapat ditemukan oleh pikiran manusia;
- (c) Bahwa dunia, termasuk para dewa dan ruh, tersusun dari satu substansi, meskipun terlihat berlawanan, yang menempati ruang dan waktu (yakni materinya);
- (d) Bahwa kesatuan yang dilihat oleh akal budi menunjukkan sebuah dunia universal bagi para filosuf, sebagai kebalikan dari dunia partikular bagi orang yang belum tercerahkan: “Orang-orang yang terjaga memiliki satu dunia yang sama; orang-orang yang tertidur berpaling ke dunia khusus.” (Heraclitus);
- (e) Bahwa dunia merupakan totalitas dari proses perubahan, dan stabilitasnya muncul dan bersatunya hal-hal yang berlawanan.
Inilah prestasi luar biasa pada abad
keenam S.M. Tidak diragukan lagi, kekerasan dan ketidakstabilan waktu membantu
munculnya konsep-konsep baru. Perubahan sosial yang cepat membawa
persoalan-persoalan abstrak tentang perubahan di depan mata. Tentang periode
yang sama sebagaimana ketika pertanyaan ini diajukan di kawasan pantai Asia
Kecil, pembahasan serupa juga terjadi di koloni-koloni Yunani, yakni di Italia
dan Sisilia, dan juga oleh para pengungsi politik, orang-orang yang dalam
pengasingan, dan orang-orang yang diusir lalu melarikan diri dari ancaman
Persia.
Mistisisme Dan Matematika
Pythagoras dari Croton (571-497 S.M.) membentuk sebuah
komunitas yang aspirasi mistik dan politisnya tidak kita bicarakan di sini. Ia
juga mengajukan pertanyaan dari apakah dunia dibuat dan bagaimanakah akal budi
dapat menemukan jawabannya. Ia menawarkan sebuah solusi yang sangat aneh. Ia
berkata bahwa dunia terbuat dari angka, dan bahwa jawabannya dapat ditemukan
jika mempelajari matematika.
Pikiran modern menyatakan bahwa angka
adalah konsep. Mengatakan bahwa dunia terbuat dari angka tampaknya sama anehnya
dengan mengatakan bahwa dunia terbuat dari kata-kata. Namun, Pythagoras memandang
angka sebagaimana kita memandang benda-benda materi. Angka adalah benda, dan
titik-titik yang besar, dan garis-garis yang tebal adalah bahan bagi terjadinya
alam semesta.
Makna praktis dari mistisisme angka
ini merupakan langkah awal bagi studi matematika. Sumbangannya terhadap
pemahaman, yakni kebenaran atau tentang cara kerja dunia, yang sebagian besar
bersifat matematis merupakan langkah besar ke depan. Kepercayaan bahwa
matematika dapat menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan bekerja sangat menarik
perhatian para intelektual selama ribuan tahun sesudahnya, lalu orang
diingatkan tentang diktum Sir James Jeans yang menyatakan bahwa alam semesta
adalah sebuah pikiran yang berada di otak para ahli matematika besar.
Para pendukung Pythagoras mengetahui
bahwa tegangan tali sangat berbeda dalam panjangnya, dan mereka menetapkan
bahwa tatanan langit tentu tunduk pada hukum yang sama, yakni bahwa jarak yang
berbeda-beda menyebabkan timbulnya suara yang berbeda-beda karena mengalami
rotasi, dan bahwa jika seluruh bunyi tersebut disatukan maka akan menyerupai
sebuah orkestra yang sangat merdu, yang diatur oleh hukum matematis. Jika kaum
Ionian menggunakan mata mereka maka boleh dikatakan pendukung Pythagoras
menggunakan telinga mereka. Bagi mereka, dunia tidaklah seperti air, kabut,
atau apt, tetapi seperti suara. Ia menyerupai sebuah harmoni vibrasi, yakni
musik alam semesta.
Sayangnya, dunia nyata tidak dapat
disesuaikan dengan bidang matematika Procrustean pada zaman itu. Misalnya, sisi
rasio diagonal segi empat tidak dapat dinyatakan sebagai angka yang menyeluruh,
dan peristiwa angka-angka irasional dalam sebuah alam semesta rasional
sedemikian besarnya sehingga penemuan hal-hal yang tak dapat dibandingkan telah
diabaikan.
Pythagoras gagal dalam mengetengahkan solusinya, tetapi ia
berhasil dalam menarik perhatian akan pentingnya matematika sebagai pembuka
jalan untuk mengetahui struktur dunia. Dan setelah Pythagoras, bola pun
bergulir pada Parmenides dari Elea (504 S.M.), yang sezaman dengan Heraclitus,
dimana persoalan-persoalan sentral yang ia tawarkan merupakan solusi yang
orisinal dan paradoks. Ia melangkah lebih jauh dibandingkan Heraclitus dalam
menentang akal budi atas indera.
Heraclitus berkata bahwa segala
sesuatu secara konstan mengalami perubahan. Sebaliknya, Parmenides menyatakan
bahwa ia dapat dibuktikan dengan akal budi bahwa tidak ada hal-hal yang
berubah. Jika indera dapat membuktikan hal yang sebaliknya, berarti indera itu
menipu. Perubahan hanyalah sebuah ilusi, karena apa pun keadaannya, demikianlah
yang sesungguhnya, dan apa pun yang tidak demikian, sesungguhnya memang tidak
demikian. Jadi perubahan apa pun, selalu saja seperti itu dan tidak seperti
itu. Hal ini tampaknya merupakan kontradiksi yang tidak dapat dibenarkan. Jika
demikian, bagaimanakah kita dapat mempercayai perubahan sekaligus dibenarkan
oleh akal budi? Hal ini memunculkan argumen bahwa perubahan pasti merupakan
penampakan dari segala sesuatu yang baru; tetapi bagi segala sesuatu yang baru,
sesuatu yang tidak ada sebelumnya, lalu muncul keberadaannya, tentunya
memerlukan sesuatu hal yang diciptakan dari yang tidak ada, yang sekali lagi
tidak dapat dipikirkan. Maka, betapapun tampaknya menggelikan untuk menolak
realitas tentang perubahan, sesungguhnya tidak ada jalan lain yang logis.
Dewasa ini, persoalan tentang
bagaimana sesuatu yang baru dapat muncul merupakan isu sentral bagi para
Evolusionis yang sedang bangkit dan para Materialis Dialektik. Dengan
menyatakan bahwa munculnya kebaruan, secara logika hal ini mustahil, demikianlah
kaum Eleatik mengemukakan pertanyaan yang sama-sama penting, yakni hingga
sejauh mana logika murni dapat memberikan informasi kepada kita tentang dunia?
Karena pada masa tersebut, pendapat dibagi secara tajam berdasarkan persoalan
tersebut; sehingga orang yang mengandalkan pada logika disebut sebagai
Rasionalis, dalam arti kata yang ketat, dan orang yang membangun sistem
metafisika yang rumit; saingan besar mereka adalah kaum Empiris, yang
mengandalkan pada pengalaman.
Salah satu di antara berbagai
persoalan filsafat yang mengganjal adalah hubungan antara ketetapan logika dan
pengalaman. Dengan berpegang teguh pada pendapatnya dan menyatakan bahwa
orang-orang lain telah menjadi korban ilusi, Parmenides menjadikan persoalan
tersebut semakin tajam, meskipun jelas-jelas ia tidak memecahkan masalah itu.
Hanya orang-orang yang sangat fanatik saja yang bersikeras menolak fakta
tentang perubahan.
Materialisme Dan Idealisme
Parmenides membuka pintu bagi ahli metafisika sebagaimana
Pythagoras membuka pintu bagi ahli matematika. Kemudian datanglah Leucippus dan
Democritus, pada paruh kedua abad kelima, dengan teorinya yang membuka pintu
bagi semua ahli fisika pada masa-masa selanjutnya, yaitu teori atom.
Sekali lagi, terbuat dari apakah
dunia? Dari atom, kata Leucippus; partikel kecil materi yang dipisahkan satu
sama lain oleh kehampaan. Sesuatu yang misterius di balik yang tampak adalah
sejumlah atom tak terbatas. Atom-atom itu tidak dapat ditembus dan tidak dapat
berubah komposisinya seperti halnya dengan Satu yang dikatakan Parmenides;
yakni Satu. Dan keduanya hanya berbeda dalam bentuk dan susunan. Semua
perubahan yang dapat dipersepsikan oleh indera disebabkan oleh mengelompoknya
kembali atom-atom primer ini.
Detail tentang pemikiran yang
cemerlang diberikan oleh Democritus dari Abdera (kira-kira 420 S.M.). Karya
dari para pendahulunya tiba-tiba tampak seperti meraba-raba dalam kegelapan
untuk memecahkan solusi yang tampak memuaskan baik berdasarkan akal budi atau
akal sehat.
Alam semesta tersusun dari atom-atom yang tidak dapat dibagi
dan kehampaan; gerakan dan pola atom-atom itu disebabkan oleh keniscayaan. Toh
kita terpaksa bertanya, apakah yang dimaksud dengan keniscayaan? Apakah yang
menentukan susunan atom-atom yang teratur? Di manakah tempatnya dalam dunia
yang gelap atom-atom material bagi Akal Budi yang telah menemukan realitas yang
tersembunyi ini di balik tirai dunia pencerapan? Bagaimanakah pikiran dapat
menjadi sama seperti gerakan-gerakan partikel material?
Pencarian atas bahan penting yang
dengannya dunia dibuat memunculkan pertanyaan tentang proses pencarian dan sang
pencari; karena bagaimanapun, tampaknya keduanya terletak di luar proses yang
dikaji. Tetapi persoalan itu terlalu dini bagi problem pengetahuan, sebagaimana
yang terjadi pada para filosuf. Namun, hal yang tak dapat dielakkan adalah
ketika seseorang berusaha mendefinisikan secara lebih akurat hubungan antara
dunia yang menakjubkan dan dunia paradoks yang diungkap oleh logika dan akal
sehat, yang tampaknya sangat berbeda.
Pernyataan orisinal oleh Hesiod,
bahwa mula-mula terjadi Chaos (kekacauan) dan Chaos menghasilkan bumi, lalu
ditulis ulang oleh Anaxagoras (500-428 S.M.) sebagai berikut, “Pada mulanya,
segala sesuatu dalam keadaan kacau, kemudian Pikiran datang dan meredakannya
sehingga berubah menjadi teratur.”
Untuk memulainya, Idealisme itu
bersifat objektif. Pertanyaan yang memunculkan teori filsafat yang disebut
Idealisme adalah: “Apakah materi alam semesta dilahirkan oleh pikiran atau ia
yang melahirkan pikiran?” Kemudian, dalam zaman klasik, Pikiran artinya adalah
Tuhan; yakni gagasan yang menciptakan pikiran seseorang, yang menciptakan dunia
dari kekacauan pengalaman. Pada hakikatnya gagasan ini merupakan gagasan modern
— setidaknya menurut filsafat Barat.
Persoalan Tentang Alam Semesta
Benih-benih Idealisme Objektif ditemukan dalam Pythagoras dan
Parmenides, tetapi dalam Plato-lah (427-347 S.M.) ditemukan buahnya.
Pra-Socrates pada umumnya berpandangan materialistik, meskipun bukan
dalam pengertian modern. Mereka tidak membuat perbedaan yang tajam antara
materi hidup dan mati; tetapi ruh dipandang sebagai benda materi.
Pada masa Plato, pertanyaan tentang
realitas misterius di balik yang tampak ini memunculkan pertanyaan tentang
wujud immaterial, yang bahkan terpisah dari ruh dan dewa-dewa. Sebagaimana
Pythagoras memandang angka sebagai benda, demikian pula Plato memandang gagasan
abstrak sebagai wujud yang ada dalam dunia materi yang bersifat independen dan
tak berwaktu.
Plato tidak melakukan usaha untuk
menggarap sistem metafisik yang detail. Sesungguhnya, kita tidak perlu
berpaling kepada orang-orang Yunani untuk mengetahui sistem tersebut. Karena
mereka adalah para pencari, bukannya para pembangun; mereka adalah para penemu
gagasan, yang pada umumnya dibangun dengan unsur-unsur yang mereka berikan
sehingga sistem selanjutnya dapat dibangun. Tidak ada ikhtisar tentang filsafat
Plato dan Aristoteles yang dapat diberikan di sini; yang ingin saya
lakukan adalah menggiring kepada perhatian tentang penemuan peralatan intelektual
yang hebat bagi umat manusia.
Banyak terdapat perselisihan tentang
apa yang sebenarnya dimaksud oleh Plato. Sesungguhnya yang menarik bagi kita
saat ini adalah apa yang tampaknya dimaksudkan untuk hal-hal lainnya, yaitu
persoalan baru apakah yang ditimbulkan oleh teori-teori tersebut. Pada zaman
Plato, perhatian difokuskan pada fakta besar bahwa dunia objek pikiran sehat
tampaknya sama sekali berbeda dengan gambaran yang dijelaskan oleh logika.
Tak seorang pun yang dapat mendengarkan musik global; tak
seorang pun yang dapat melihat atomnya Democritus. Lalu, haruskah semua itu
diasumsikan bahwa seluruh penjelajahan pikiran merupakan sebuah kesalahan?
Apakah ini yang disebut sebagai ilusi, yakni dunia yang disingkapkan oleh
logika atau, dunia yang dilihat oleh indera? Plato menjawab tanpa keraguan
bahwa dunia logika adalah nyata. Maka harus diterima apa pun yang menyerang
pikiran sehat.
Ia menganalisis kepercayaan akal
sehat. Setiap orang harus mengakui bahwa beberapa hal sangat indah, dan hal
lainnya kurang indah; beberapa tindakan itu adil, dan tindakan yang lain tidak
adil dalam berbagai tingkatan. Di sinilah persoalannya jika beberapa hal
mengandung keindahan, dan beberapa tindakan memiliki sejumlah keadilan. Jika
terdapat tingkat keindahan dan tingkat keadilan, tentunya pasti ada Keindahan
dan Keadilan yang sempurna dan mutlak.
Mengatakan bahwa istilah-istilah ini
bersifat umum- sama saja dengan mengatakan bahwa istilah-istilah itu tidak
dapat dibatasi untuk kasus tertentu, tetapi meliputi sejumlah besar kasus
tertentu. Maka kita di satu sisi memiliki fakta khusus, dan di lain sisi
memiliki fakta umum atau universal. Tidak ada pengujian terhadap hal yang
khusus yang akan menghasilkan fakta umum. Hal-hal yang indah menunjukkan
keindahan, tetapi keindahan itu tentu akan mengurangi keindahan itu sendiri.
Sekarang, Plato menerapkan analisis
yang orisinal ini terhadap semua istilah abstrak. Mata uang emas yang anda
pegang di tangan anda, seperti apakah itu? Untuk menjelaskannya, anda harus
mengatakan bahwa benda itu kuning dan bulat, dan seterusnya. Anda hanya dapat
menjelaskannya dengan istilah yang umum, yakni warnanya yang kuning dan
bentuknya yang bulat. Tidak ada cara lain. Setiap yang partikular tersusun dari
universal. Dengan demikian universal tentunya nyata. Universal pasti ada.
Keindahan, kuning, bulat pasti ada. Universal merupakan definisi dari emas.
Lihatlah sekali lagi pada mata uang
emas. Cobalah untuk berpikir secara umum. Abaikanlah warna, bentuk, ukuran, dan
berat — apakah yang masih tersisa pada akhirnya? Hanya substansi kosong yang
secara pasif mendasari segala sesuatu — benda kosong yang menunjukkan atribut
yang dengan sabar siap menanti untuk didefinisikan.
Ini jangan sampai dianggap sebagai
ringkasan argumen Plato yang aktual. Tetapi ini merupakan latihan berpikir yang
harus ia mulai dan pada akhirnya menuju kepada suatu teka-teki seperti Apakah
perbedaan antara yang Ada (tanpa kualitas) dan yang Tiada. Adakah
benda khusus (mata uang emas) tersusun dari substratum dan atribut, substansi
dan peristiwa; atau ia hanya sebagai jumlah total dari semua perwujudannya?
Democritus berusaha untuk
menyederhanakan dunia menjadi dua unsur, yakni Atom dan Kehampaan. Plato
berusaha untuk menyederhanakannya menjadi Materi dan Bentuk. Hal yang istimewa
dari solusi Plato adalah bahwa bentuk dipercaya sebagai eksistensi yang
independen. Dunia sehari-hari mengungkapkan materi yang tercetak dalam bentuk;
tetapi bentuk ditunjukkan secara tidak sempurna. Di balik pemandangan ini, di
balik waktu dan ruang, terdapat dunia lain; yaitu dunia yang sempurna, pasti,
dan menyenangkan. Di sanalah jiwa dapat merenungkan keindahan yang
sesungguhnya, keadilan yang sesungguhnya, dan seluruh prosesi universal dapat
dilihat dalam kesempurnaannya yang sublim.
Pengetahuan tentang realitas tidak
diberikan oleh indera tetapi dipersepsikan dengan mata dan jiwa, di mana
objeknya yang benar adalah mengkaji bentuk-bentuk gagasan universal. Dengan
demikian pandangan bahwa sains tidak ada hubungannya dengan pengalaman
merupakan gagasan yang sangat berbahaya, sebagaimana yang kemudian terjadi,
meskipun nilai praktis Platonisme adalah seperti itu dengan menekankan —
sebagaimana yang dilakukan Heraclitus — tentang tidak bermanfaatnya penggalan
informasi yang tidak memiliki hubungan sehingga memusatkan perhatian pada
pencarian hubungan yang bersifat logis dan matematis.
Whitehead menyatakan: “Karakterisasi
umum yang aman dalam tradisi filsafat Eropa adalah bahwa ia terdiri dari
sejumlah catatan kaki Plato. Saya tidak bermaksud mengatakannya sebagai skema
pemikiran sistematik di mana para cendekiawan dengan ragu-ragu telah
mengintisarikannya dari tulisan-tulisannya. Yang saya maksudkan adalah kekayaan
gagasan umum yang tersebar melalui mereka. Kemampuan pribadinya, peluangnya
yang luas untuk memperoleh pengalaman di sepanjang periode peradaban besar,
warisannya atas tradisi intelektual belum diperkuat oleh penetapan sistematika
yang kuat, menjadikan tulisan-tulisannya sebagai tambang gagasan yang tak
pernah habis.” (Process and Reality).
Menegakkan Logika
Karya jenius Plato yang cemerlang dan nakal sangat memabukkan
para penyair dan ahli matematika, dikoreksi melalui cara yang lebih mistis oleh
Aristoteles yang tenang (384-322 S.M.). Plato telah mengangkat persoalan yang
bersifat umum. Aristoteles mengambil alihnya; tetapi ia tidak dapat mengakui
bahwa hal itu merupakan eksistensi yang terpisah. Bagi Aristoteles, alam
semesta yang nyata terletak di antara dua ekstrem dari materi tak berbentuk dan
bentuk tak bermateri (Tuhan).
Antusiasme Plato terhadap matematika
telah menunjukkan jalan bagi ahli fisika; bakat Aristoteles dalam
mengklasifikasi telah menunjukkan jalan bagi ahli biologi. Dengan melihat
prestasi dua abad ke belakang, tampaklah bahwa ia mengajukan pertanyaan yang
sangat fundamental. Atas dasar bahwa dunia tersusun dari beberapa substansi
primer dan memiliki kualitas-kualitas umum, dengan proses perkembangannya,
apakah yang menyebabkan ia bergerak? Apakah yang menjadi penyebabnya?
Dalam jangka waktu yang lama
sesudahnya, tugas bagi para ilmuwan tampaknya terutama mengklasifikasi fenomena
dan mencari penyebab. Aristoteles mengklasifikasikan Penyebab itu sendiri
menjadi empat tipe — Material, Formal, Efisien, dan Final. Ia mengenal dengan
sangat jelas kompleksitas yang ekstrem dari Penyebab. Segala sesuatu yang
terjadi pasti memiliki penyebab; setiap penyebab pasti memiliki efek.
Selanjutnya, akibat pasti memiliki keserupaan dengan penyebabnya: Di sinilah
materi tentang kontroversi yang terkenal tentang Kehendak bebas versus Determinisme
telah dijelaskan secara implisit dalam teori atom. Di sini, benda memiliki
penyebab, tentunya pasti ada Penyebab Pertama.
Aristoteles menegaskan bahwa pasti
ada tujuan bagi segala sesuatu; benda-benda itu bergerak karena mereka harus
mengejar tujuan akhir. Gagasan tentang penyebab akhir dan adaptasi diri bagi
organisme yang berkembang untuk menuju kepada tujuan akhir masih mengambang
bahkan dalam pandangan para ilmuwan yang dengan gusar menolaknya, lalu
mengajukan pertanyaan terkenal: “Apakah arti kehidupan? Apakah tujuan Alam
semesta?” Vitalisme bagi Driesch adalah Aristotalianisme modern.
Dua konsep berguna lainnya
ditambahkan oleh Aristoteles, yakni Potensialitas dan Aktualitas. Pohon oak
tidak diciptakan dari ketiadaan; semacam perubahan dari acorn menjadi oak
terjadi secara potensial dalam acorn. Materi, dengan
kualitas-kualitasnya, dengan demikian menunggu kesempatan dari potensial
menjadi aktual.
Aristoteles membuat klasifikasi
bekerjanya akal budi. Dengan demikian ia telah menegakkan sains dari logika
formal. Ia membuat asas mengenai hal tersebut dengan proposisi yang sederhana,
yakni sebuah subjek dengan sebuah predikat: “Semua manusia akan mati” atau
“Bunga mawar itu merah.”
Ia menunjukkan argumen tentang
proposisi pertama bahwa semua manusia akan mati: Socrates adalah manusia,
dengan demikian Socrates akan mati. Tetapi merupakan kesalahan jika dikatakan
misalnya, “Bunga mawar itu merah; bunga poppy itu merah; dengan demikian bunga
mawar adalah bunga poppy.” Ia memberikan aturan yang dengannya kesalahan dalam
berargumen seperti ini — yaitu kesimpulan yang ditarik dari dua premis — bisa
diketahui.
Tetapi tidak ada lagi yang bisa diharapkan darinya sekalipun
pikirannya yang cerdas menjadikan ia menguasai pengetahuan alam, filsafat,
estetika, etika, dan politik. Bagaimanapun, kedalaman dan keluasan pemikirannya
tetap menjadi keajaiban dunia. Di antara mereka, Plato dan Aristoteles telah
merintis intelektualisme sehingga semua bentuk pemikirannya telah berpengaruh
selama lebih dari seribu tahun.
Bahwa Gereja zaman pertengahan telah
menetapkan sebuah dogma dari filsafat, ini bukanlah kesalahan Aristoteles. Ia
hampir-hampir tidak dapat meramalkan bahwa doktrin tentang substansi dan
aksiden akan digunakan untuk menjelaskan Tran-substansiasi, dan membuat ikatan
sesungguhnya atas keyakinan.
Keterbatasan logika Aristotelian barn
mulai direalisasikan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa ia menjelaskan
tentang yang tak dapat dilihat, substratum yang tidak berkualitas: bahkan
sebuah pernyataan yang sederhana seperti “Bunga mawar itu merah,” memasukkan
sebuah entitas yang independen, yang dengannya kualitas merah dapat
ditambahkan. Filsafat modern, pada masa-masa awalnya, menanyakan perlunya
menetapkan postulat sebuah substansi yang mendasarinya.
Kita akan kembali ke topik ini dalam
bab-bab mendatang, tetapi untuk sementara ini cukuplah dikatakan bahwa ketika
ahli fisika kontemporer berbicara tentang peristiwa dan proses, bukannya benda,
ketika ruang dan waktu dipandang sebagai relasi antar berbagai peristiwa,
sebuah celah yang dalam muncul dalam mengasumsikan hal-hal yang sangat
fundamental dari filsafat klasik. Ketika orang mengeluh bahwa sains kontemporer
membelenggu akal sehat, biasanya yang dimaksud adalah sebagai penolakan
terhadap Aristoteles, mereka lupa sejauh mana Aristoteles sendiri telah
menjelajahi konsep-konsep akal sehat di mana hampir semua filosuf kuno bersatu
dan melecehkannya sebagai “pandangan delusif.”
Pertanyaan yang diajukan pada
milenium tersebut setelah Plato dan Aristoteles bagi telinga modern agaknya
merupakan hal yang sepele yang hanya merupakan permainan kata. Yang menjadi
perhatian mereka terutama adalah kedudukan yang universal. Tentu saja terdapat
alasan politik dan ekonomi sehingga mengapa sains tidak dapat berkembang. Juga terdapat
alasan-alasan intelektual yang sangat baik mengapa teori ilmiah menjadi lumpuh.
Hal ini terutama terjadi karena adanya bentuk pertanyaan yang salah.
Jadi manusia bukannya bertanya bagaimana
sesungguhnya benda bergerak melakukan kerjanya, tetapi mereka bertanya, “Apakah
gerakan itu?” dan seterusnya. Mereka melakukan kesalahan dalam mengkaji
definisi verbal dalam rangka mengkaji fenomena aktual. Mereka mencari “esensi”
misterius yang sama sia-sianya dengan pencarian bentuk-bentuk Platonik atau
batu filosuf.
Filsafat akan menjadi sebuah
kekacauan dan permainan kata yang kosong makna seandainya ia tidak disikapi
dengan orientasi yang baru. Kemajuan filsafat tergantung pada wawasan yang
dengannya persoalan-persoalan lama diberi sebuah formulasi baru. Jawaban-jawaban
tersebut tidak memberikan kita kebenaran final yang kita dambakan, tetapi dapat
merangsang kita untuk lebih membatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang jelas.
Jika seseorang berasumsi bahwa saya
menyarankan agar teori terkini yang muncul memerlukan penyempurnaan berdasarkan
teori terdahulu, maka ia telah melakukan kesalahan dalam ‘membaca pernyataan
saya dengan sangat jelas. Teori-teori itu sendiri tidak perlu diperbaiki untuk
disesuaikan dengan berjalannya waktu, tetapi pengalaman kita dengan jelas
menjadi lebih luas sehingga formulasi lama tidak lagi dapat meliputi
seluruhnya. Kita telah menghadapi sebuah labirin intelektual; kita juga belum
menemukan jalan keluarnya, tetapi pengetahuan kita tentang labirin tempat kita
melakukan pengembaraan, bagaimanapun telah mengalami peningkatan.
Referensi Penting
- Greek Thinkers, oleh J. Gornperz, Terjemahan Inggris; 1901.
- Outlines of Greek Philosophy, oleh E. Zeiler, edisi ke-13, 1931.
- Thales to Plato, oleh J. Burnet; 1914.
- Plato and His Contemporaries, oleh G. C. Field; 1930.
- Plato’s Theory a/Knowledge, oleh F. M. Cornford; 1935.
- An Introduction to Ancient Philosophy, oleh A. H. Armstrong; 1947.
- Aristsotle, olehW. Jaeger, Terjemahan Inggris; 1934.
- Stoic and Epicurean, oleh R. D. Hicks; 1910.
- Banyak terdapat terjemahan yang bagus tentang Plato dan Aristoteles. Terjemahan F. M. Cornford, Timaeus (1937) dan The Republic (1914) mencantumkan catatan penjelasan yang sangat berharga. Terjemahan Jowett dalam Dialogues (5 vol.) diterbitkan kembali pada 1925. Terjemahan Oxford tentang Aristoteles (editor J. A. Smith dan W. D. Ross) merupakan terjemahan yang lengkap terdiri dari 11 jilid. Terjemahan Munro tentang Lucretius diterbitkan dengan komentar dan pengantar oleh Prof. Andrade pada 1928. Untuk Neo-Platonis lihat The Enneads of Plotinus, diterjemahkan oleh Mackenna dan Page (1926-1930), dan Select Passages Illustrative of Neoplatonism, oleh E. R. Dodds (1923).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar