Minggu, 17 Juni 2012

Filsafat (Seri 2 Penemuan Akal Budi)


PENEMUAN AKAL BUDI

Runtuhnya Mesir, bangkitnya Persia, pergulatan antara kelas pedagang dan pemilik tanah aristrokrat untuk menguasai negara-kota, adalah peristiwa yang mula-mula menjadi pertanyaan yang diajukan oleh para filosuf. 
Peradaban besar Nil dan Eufrat adalah peradaban konservatif. Sains mereka bersifat praktis bukannya teoretis. Sains mereka bersangkutan dengan masalah-masalah teknik sipil, irigasi, penyusunan kalender yang benar, dan semua itu ada di tangan para pendeta yang mempertahankan pandangan mitis tentang asal-usul alam semesta. Yang mengherankan, agama Yunani terbebas dari kependetaan. Baik Homer maupun Hesiod tidak terlalu ta’zim kepada dewa-dewa mereka, dan mereka tidak pernah mengajarkan bahwa dunia diciptakan oleh para dewa. Sebaliknya, hingga abad kedelapan diajarkan (oleh Hesiod) bahwa Chaos menciptakan bumi, yang selanjutnya menciptakan langit; dan segala sesuatu lainnya berasal dari pasangan langit dan bumi.
Alam semesta kecillah yang menjadi bahan pemikiran orang-orang Yunani. Bintang-bintang adalah lilin-lilin malam hari bukannya sebagai matahari-matahari; tetapi semua itu bukan dewa-dewa sebagaimana anggapan orang Babylonia. Bintang-bintang adalah keturunan bumi, dan Anaximander (611-547 S.M.) tampaknya telah menggambarkan bahwa bumi lambat laun mengering karena menguap, dan manusia pada mulanya muncul sebagai makhluk yang menyerupai ikan dari lautan. Dari sinilah berkembangnya teori evolusi sebagai perhatian utama, dan dari sinilah dilakukan usaha awal untuk menjelaskan tentang asal-usul yang bersifat alamiah.

Masalah lainnya yang perlu diperhatikan di antara semua ini adalah bahwa orang Yunani berpandangan materialis. Mereka tidak mempunyai pandangan tentang Tuhan yang immaterial, jiwa yang immaterial, atau kekuatan yang immaterial. Ketika mereka berkata bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan menjadi air, atau kabut, atau apt, mereka tidak bermaksud mengatakan tentang adanya substansi di balik air, kabut, atau api. Ketika Empedocles (445 S.M.) berkata bahwa empat unsur utama digerakkan oleh dua kekuatan, yakni Cinta dan Benci, ia tidak berkata secara metaforis. Kekuatan-kekuatan yang dimaksud oleh Empedocles adalah zat cair. Kekuatan-kekuatan itu sebangsa benda, sebagaimana pada zaman primitif, bahkan keadilan dipandang sebagai sebentuk benda, yang jika bersirkulasi secara benar menyebabkan matahari akan bersinar dan tanaman akan tumbuh.

Pengetahuan kita tentang berbagai kontroversi yang muncul kemudian menjadikan sulit bagi kita untuk membayangkan hal-hal sederhana semacam itu. Tetapi tidak ada kontroversi bagi kaum Ionian untuk menengok ke belakang. Semua yang telah diwariskan merupakan teori magis tentang hal-hal yang misterius — yaitu semacam mana — yang tersebar secara merata di seluruh benda-benda alam semesta. Hal-hal yang misterius ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, sehingga ia bukan merupakan hal yang sama sekali baru untuk dipikirkan, tentang realitas di balik tirai penampakan. Hal-hal yang baru ini menyelidiki realitas melalui akal budi.

Terbuat dari apakah dunia ini? mereka bertanya. Segala sesuatu yang kita lihat ini bahannya tersusun dari apa? Mengapa berbagai benda memiliki bentuk dan warna yang berbeda-beda, dan mengapa benda-benda itu bergerak? Anaximander berkesimpulan bahwa hanya ada satu bentuk substansi, dan segala sesuatu di dunia ini merupakan sebagian bentuk darinya. Ia menyebut substansi ini sebagai Tidak Terbatas. Ia ada dari semua keabadian, lingkupnya tidak terbatas, dan ia dapat bergerak. Materi kasar ini tidak dapat dilihat atau dirasakan dengan pencerapan, tetapi ia dapat diketahui dengan Pikiran.

Untuk tujuan kita kali ini, kita tidak perlu membahasnya secara detail tentang teka-teki ini. Cukuplah diketahui tentang gagasan-gagasan penting yang banyak dicampakkan sebagai akibat dari penjelajahan berpikir. Tetapi kepercayaan tentang kesatuan di balik berbagai perubahan penampakan, dan keyakinan bahwa akal budi dapat menyingkap kebenaran yang lebih dalam ketimbang indera merupakan persoalan yang sangat penting.

Problema Tentang Perubahan

Persoalan ini diangkat dan bahkan memperoleh perhatian yang lebih tajam oleh Heraclitus (504 S.M.). Ia dengan berani menentang bukti tentang akal budi dan bukti tentang indera. Mata dan telinga, ia berkata, merupakan saksi yang baru; sehingga pikiran harus menginterpretasikan bukti-buktinya, dan kepahaman terletak dalam interpretasi. Kepahaman, atau akan kita sebut dengan Kebenaran — tidak hanya diperoleh melalui pengamatan. Ia mencakup penggunaan akal budi untuk melihat dan memahami kesatuan di balik keragaman, jika tidak demikian tentu akan membingungkan indera. Di mana pun anda melihat, anda akan melihat terjadinya perubahan-perubahan. “Segala sesuatu dalam keadaan bergerak dan tidak ada sesuatu yang diam.”

Jadi, pertanyaan yang diajukan oleh Thales dan Anaximander diperbaharui oleh Heraclitus. Ia menerima kepercayaan mereka bahwa akal budi dapat mengetahui hal-hal yang mendasari kesatuan dunia, tetapi ia bertanya bagaimanakah kesatuan ini dapat diselaraskan dengan fakta tentang perubahan? Ia mengajukan sebuah pertanyaan di mana jawaban yang sangat memuaskan telah diketemukan, dan pada zaman kita, para filosuf terutama berpegang pada pandangan yang telah diletakkan oleh Bergson. Jawaban yang diberikan Heraclitus memberikan inspirasi kepada sistem Hegel yang sangat mengagumkan. Sayangnya, kita hanya memiliki beberapa bagian buku tersebut yang ia simpan di kuil Ephesus, di mana ia merupakan keturunan raja-pendeta.

Fakta tentang perubahan menjadikan sulit untuk menjelaskan tentang perilaku substansi misterius di balik yang tampak, seakan-akan ia tersusun dari bongkahan benda tak bergerak. Karena, kapan saja terjadi perubahan — dan perubahan itu selalu terjadi —segala sesuatu menjadi berbeda, namun segala sesuatu harus tetap sama. Maka menurut Heraclitus bahan terbuatnya dunia bukan air, tetapi api.

Sesungguhnya, materi itu adalah sejenis api yang bersinar dan meredup, menyala-nyala dan padam yang tunduk pada hukum. “Matahari tidak akan menyimpang dari jalan tertentu; tetapi jika itu dilakukan, maka dewa-dewa Nasib dan penguasa Keadilan akan mengetahuinya ... Aturan dunia, yang bersifat sama terhadap segala sesuatu, belum dibuat, baik oleh seorang dewa atau seorang manusia. Selalu saja demikian dan akan terus demikian, sebuah api yang hidup abadi, dengan hukum yang mengatur nyalanya dan hukum yang mengatur padamnya.”

Untuk menerjemahkan bahasa yang indah seperti ini ke dalam bahasa modern hampir-hampir mustahil tanpa menambahkannya secara diam-diam. Tetapi di sini, dalam bentuk embrionya, hal ini merupakan gagasan yang mendasar sehingga dunia harus diinterpretasikan berdasarkan prosesnya, bukan bendanya. Stabilitas yang terlihat yang menjadikan kita menyalahkan proses berbagai hal bagaikan stabilitas yang terlihat pada sebuah nyala di tempat tanpa angin sehingga benda itu terlihat seperti benda padat. Heraclitus menjelaskan stabilitas ini sebagai sejenis keseimbangan yang dicapai oleh kekuatan yang berlawanan di dalam proses yang sama. Ketegangan internal ini, yang disebabkan oleh unsur-unsur yang bertentangan, merupakan sumber perkembangan dari benda itu. “Segala sesuatu berkembang karena perjuangan dan kebutuhan.”

Pertanyaan “Terbuat dari apakah dunia ini?” sesungguhnya telah menyebabkan munculnya pertanyaan “Bagaimanakah dunia ini berubah?” Dengan berlangsungnya transisi, maka terjadilah berbagai pemikiran luar biasa yang menarik perhatian para sejarawan saat ini, tetapi terlepas dari jawabannya yang detail, ada sejumlah gagasan yang sangat cemerlang yang memperkaya intelektualitas. 
Gagasan-gagasan penting yang muncul adalah: 
  • (a) Bahwa dunia ini diatur oleh keniscayaan (hukum); 
  • (b) Bahwa hukum-hukum tersebut dapat ditemukan oleh pikiran manusia; 
  • (c) Bahwa dunia, termasuk para dewa dan ruh, tersusun dari satu substansi, meskipun terlihat berlawanan, yang menempati ruang dan waktu (yakni materinya); 
  • (d) Bahwa kesatuan yang dilihat oleh akal budi menunjukkan sebuah dunia universal bagi para filosuf, sebagai kebalikan dari dunia partikular bagi orang yang belum tercerahkan: “Orang-orang yang terjaga memiliki satu dunia yang sama; orang-orang yang tertidur berpaling ke dunia khusus.” (Heraclitus); 
  • (e) Bahwa dunia merupakan totalitas dari proses perubahan, dan stabilitasnya muncul dan bersatunya hal-hal yang berlawanan.
Inilah prestasi luar biasa pada abad keenam S.M. Tidak diragukan lagi, kekerasan dan ketidakstabilan waktu membantu munculnya konsep-konsep baru. Perubahan sosial yang cepat membawa persoalan-persoalan abstrak tentang perubahan di depan mata. Tentang periode yang sama sebagaimana ketika pertanyaan ini diajukan di kawasan pantai Asia Kecil, pembahasan serupa juga terjadi di koloni-koloni Yunani, yakni di Italia dan Sisilia, dan juga oleh para pengungsi politik, orang-orang yang dalam pengasingan, dan orang-orang yang diusir lalu melarikan diri dari ancaman Persia.

Mistisisme Dan Matematika

Pythagoras dari Croton (571-497 S.M.) membentuk sebuah komunitas yang aspirasi mistik dan politisnya tidak kita bicarakan di sini. Ia juga mengajukan pertanyaan dari apakah dunia dibuat dan bagaimanakah akal budi dapat menemukan jawabannya. Ia menawarkan sebuah solusi yang sangat aneh. Ia berkata bahwa dunia terbuat dari angka, dan bahwa jawabannya dapat ditemukan jika mempelajari matematika.

Pikiran modern menyatakan bahwa angka adalah konsep. Mengatakan bahwa dunia terbuat dari angka tampaknya sama anehnya dengan mengatakan bahwa dunia terbuat dari kata-kata. Namun, Pythagoras memandang angka sebagaimana kita memandang benda-benda materi. Angka adalah benda, dan titik-titik yang besar, dan garis-garis yang tebal adalah bahan bagi terjadinya alam semesta.

Makna praktis dari mistisisme angka ini merupakan langkah awal bagi studi matematika. Sumbangannya terhadap pemahaman, yakni kebenaran atau tentang cara kerja dunia, yang sebagian besar bersifat matematis merupakan langkah besar ke depan. Kepercayaan bahwa matematika dapat menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan bekerja sangat menarik perhatian para intelektual selama ribuan tahun sesudahnya, lalu orang diingatkan tentang diktum Sir James Jeans yang menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pikiran yang berada di otak para ahli matematika besar.

Para pendukung Pythagoras mengetahui bahwa tegangan tali sangat berbeda dalam panjangnya, dan mereka menetapkan bahwa tatanan langit tentu tunduk pada hukum yang sama, yakni bahwa jarak yang berbeda-beda menyebabkan timbulnya suara yang berbeda-beda karena mengalami rotasi, dan bahwa jika seluruh bunyi tersebut disatukan maka akan menyerupai sebuah orkestra yang sangat merdu, yang diatur oleh hukum matematis. Jika kaum Ionian menggunakan mata mereka maka boleh dikatakan pendukung Pythagoras menggunakan telinga mereka. Bagi mereka, dunia tidaklah seperti air, kabut, atau apt, tetapi seperti suara. Ia menyerupai sebuah harmoni vibrasi, yakni musik alam semesta.

Sayangnya, dunia nyata tidak dapat disesuaikan dengan bidang matematika Procrustean pada zaman itu. Misalnya, sisi rasio diagonal segi empat tidak dapat dinyatakan sebagai angka yang menyeluruh, dan peristiwa angka-angka irasional dalam sebuah alam semesta rasional sedemikian besarnya sehingga penemuan hal-hal yang tak dapat dibandingkan telah diabaikan.

Pythagoras gagal dalam mengetengahkan solusinya, tetapi ia berhasil dalam menarik perhatian akan pentingnya matematika sebagai pembuka jalan untuk mengetahui struktur dunia. Dan setelah Pythagoras, bola pun bergulir pada Parmenides dari Elea (504 S.M.), yang sezaman dengan Heraclitus, dimana persoalan-persoalan sentral yang ia tawarkan merupakan solusi yang orisinal dan paradoks. Ia melangkah lebih jauh dibandingkan Heraclitus dalam menentang akal budi atas indera.

Heraclitus berkata bahwa segala sesuatu secara konstan mengalami perubahan. Sebaliknya, Parmenides menyatakan bahwa ia dapat dibuktikan dengan akal budi bahwa tidak ada hal-hal yang berubah. Jika indera dapat membuktikan hal yang sebaliknya, berarti indera itu menipu. Perubahan hanyalah sebuah ilusi, karena apa pun keadaannya, demikianlah yang sesungguhnya, dan apa pun yang tidak demikian, sesungguhnya memang tidak demikian. Jadi perubahan apa pun, selalu saja seperti itu dan tidak seperti itu. Hal ini tampaknya merupakan kontradiksi yang tidak dapat dibenarkan. Jika demikian, bagaimanakah kita dapat mempercayai perubahan sekaligus dibenarkan oleh akal budi? Hal ini memunculkan argumen bahwa perubahan pasti merupakan penampakan dari segala sesuatu yang baru; tetapi bagi segala sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak ada sebelumnya, lalu muncul keberadaannya, tentunya memerlukan sesuatu hal yang diciptakan dari yang tidak ada, yang sekali lagi tidak dapat dipikirkan. Maka, betapapun tampaknya menggelikan untuk menolak realitas tentang perubahan, sesungguhnya tidak ada jalan lain yang logis.

Dewasa ini, persoalan tentang bagaimana sesuatu yang baru dapat muncul merupakan isu sentral bagi para Evolusionis yang sedang bangkit dan para Materialis Dialektik. Dengan menyatakan bahwa munculnya kebaruan, secara logika hal ini mustahil, demikianlah kaum Eleatik mengemukakan pertanyaan yang sama-sama penting, yakni hingga sejauh mana logika murni dapat memberikan informasi kepada kita tentang dunia? Karena pada masa tersebut, pendapat dibagi secara tajam berdasarkan persoalan tersebut; sehingga orang yang mengandalkan pada logika disebut sebagai Rasionalis, dalam arti kata yang ketat, dan orang yang membangun sistem metafisika yang rumit; saingan besar mereka adalah kaum Empiris, yang mengandalkan pada pengalaman.

Salah satu di antara berbagai persoalan filsafat yang mengganjal adalah hubungan antara ketetapan logika dan pengalaman. Dengan berpegang teguh pada pendapatnya dan menyatakan bahwa orang-orang lain telah menjadi korban ilusi, Parmenides menjadikan persoalan tersebut semakin tajam, meskipun jelas-jelas ia tidak memecahkan masalah itu. Hanya orang-orang yang sangat fanatik saja yang bersikeras menolak fakta tentang perubahan.

Materialisme Dan Idealisme

Parmenides membuka pintu bagi ahli metafisika sebagaimana Pythagoras membuka pintu bagi ahli matematika. Kemudian datanglah Leucippus dan Democritus, pada paruh kedua abad kelima, dengan teorinya yang membuka pintu bagi semua ahli fisika pada masa-masa selanjutnya, yaitu teori atom.

Sekali lagi, terbuat dari apakah dunia? Dari atom, kata Leucippus; partikel kecil materi yang dipisahkan satu sama lain oleh kehampaan. Sesuatu yang misterius di balik yang tampak adalah sejumlah atom tak terbatas. Atom-atom itu tidak dapat ditembus dan tidak dapat berubah komposisinya seperti halnya dengan Satu yang dikatakan Parmenides; yakni Satu. Dan keduanya hanya berbeda dalam bentuk dan susunan. Semua perubahan yang dapat dipersepsikan oleh indera disebabkan oleh mengelompoknya kembali atom-atom primer ini.

Detail tentang pemikiran yang cemerlang diberikan oleh Democritus dari Abdera (kira-kira 420 S.M.). Karya dari para pendahulunya tiba-tiba tampak seperti meraba-raba dalam kegelapan untuk memecahkan solusi yang tampak memuaskan baik berdasarkan akal budi atau akal sehat.

Alam semesta tersusun dari atom-atom yang tidak dapat dibagi dan kehampaan; gerakan dan pola atom-atom itu disebabkan oleh keniscayaan. Toh kita terpaksa bertanya, apakah yang dimaksud dengan keniscayaan? Apakah yang menentukan susunan atom-atom yang teratur? Di manakah tempatnya dalam dunia yang gelap atom-atom material bagi Akal Budi yang telah menemukan realitas yang tersembunyi ini di balik tirai dunia pencerapan? Bagaimanakah pikiran dapat menjadi sama seperti gerakan-gerakan partikel material?

Pencarian atas bahan penting yang dengannya dunia dibuat memunculkan pertanyaan tentang proses pencarian dan sang pencari; karena bagaimanapun, tampaknya keduanya terletak di luar proses yang dikaji. Tetapi persoalan itu terlalu dini bagi problem pengetahuan, sebagaimana yang terjadi pada para filosuf. Namun, hal yang tak dapat dielakkan adalah ketika seseorang berusaha mendefinisikan secara lebih akurat hubungan antara dunia yang menakjubkan dan dunia paradoks yang diungkap oleh logika dan akal sehat, yang tampaknya sangat berbeda.

Pernyataan orisinal oleh Hesiod, bahwa mula-mula terjadi Chaos (kekacauan) dan Chaos menghasilkan bumi, lalu ditulis ulang oleh Anaxagoras (500-428 S.M.) sebagai berikut, “Pada mulanya, segala sesuatu dalam keadaan kacau, kemudian Pikiran datang dan meredakannya sehingga berubah menjadi teratur.”

Untuk memulainya, Idealisme itu bersifat objektif. Pertanyaan yang memunculkan teori filsafat yang disebut Idealisme adalah: “Apakah materi alam semesta dilahirkan oleh pikiran atau ia yang melahirkan pikiran?” Kemudian, dalam zaman klasik, Pikiran artinya adalah Tuhan; yakni gagasan yang menciptakan pikiran seseorang, yang menciptakan dunia dari kekacauan pengalaman. Pada hakikatnya gagasan ini merupakan gagasan modern — setidaknya menurut filsafat Barat.

Persoalan Tentang Alam Semesta

Benih-benih Idealisme Objektif ditemukan dalam Pythagoras dan Parmenides, tetapi dalam Plato-lah (427-347 S.M.) ditemukan buahnya. Pra-Socrates pada umumnya berpandangan materialistik, meskipun bukan dalam pengertian modern. Mereka tidak membuat perbedaan yang tajam antara materi hidup dan mati; tetapi ruh dipandang sebagai benda materi.

Pada masa Plato, pertanyaan tentang realitas misterius di balik yang tampak ini memunculkan pertanyaan tentang wujud immaterial, yang bahkan terpisah dari ruh dan dewa-dewa. Sebagaimana Pythagoras memandang angka sebagai benda, demikian pula Plato memandang gagasan abstrak sebagai wujud yang ada dalam dunia materi yang bersifat independen dan tak berwaktu.

Plato tidak melakukan usaha untuk menggarap sistem metafisik yang detail. Sesungguhnya, kita tidak perlu berpaling kepada orang-orang Yunani untuk mengetahui sistem tersebut. Karena mereka adalah para pencari, bukannya para pembangun; mereka adalah para penemu gagasan, yang pada umumnya dibangun dengan unsur-unsur yang mereka berikan sehingga sistem selanjutnya dapat dibangun. Tidak ada ikhtisar tentang filsafat Plato dan Aristoteles yang dapat diberikan di sini; yang ingin saya lakukan adalah menggiring kepada perhatian tentang penemuan peralatan intelektual yang hebat bagi umat manusia.

Banyak terdapat perselisihan tentang apa yang sebenarnya dimaksud oleh Plato. Sesungguhnya yang menarik bagi kita saat ini adalah apa yang tampaknya dimaksudkan untuk hal-hal lainnya, yaitu persoalan baru apakah yang ditimbulkan oleh teori-teori tersebut. Pada zaman Plato, perhatian difokuskan pada fakta besar bahwa dunia objek pikiran sehat tampaknya sama sekali berbeda dengan gambaran yang dijelaskan oleh logika.

Tak seorang pun yang dapat mendengarkan musik global; tak seorang pun yang dapat melihat atomnya Democritus. Lalu, haruskah semua itu diasumsikan bahwa seluruh penjelajahan pikiran merupakan sebuah kesalahan? Apakah ini yang disebut sebagai ilusi, yakni dunia yang disingkapkan oleh logika atau, dunia yang dilihat oleh indera? Plato menjawab tanpa keraguan bahwa dunia logika adalah nyata. Maka harus diterima apa pun yang menyerang pikiran sehat.

Ia menganalisis kepercayaan akal sehat. Setiap orang harus mengakui bahwa beberapa hal sangat indah, dan hal lainnya kurang indah; beberapa tindakan itu adil, dan tindakan yang lain tidak adil dalam berbagai tingkatan. Di sinilah persoalannya jika beberapa hal mengandung keindahan, dan beberapa tindakan memiliki sejumlah keadilan. Jika terdapat tingkat keindahan dan tingkat keadilan, tentunya pasti ada Keindahan dan Keadilan yang sempurna dan mutlak.

Mengatakan bahwa istilah-istilah ini bersifat umum- sama saja dengan mengatakan bahwa istilah-istilah itu tidak dapat dibatasi untuk kasus tertentu, tetapi meliputi sejumlah besar kasus tertentu. Maka kita di satu sisi memiliki fakta khusus, dan di lain sisi memiliki fakta umum atau universal. Tidak ada pengujian terhadap hal yang khusus yang akan menghasilkan fakta umum. Hal-hal yang indah menunjukkan keindahan, tetapi keindahan itu tentu akan mengurangi keindahan itu sendiri.

Sekarang, Plato menerapkan analisis yang orisinal ini terhadap semua istilah abstrak. Mata uang emas yang anda pegang di tangan anda, seperti apakah itu? Untuk menjelaskannya, anda harus mengatakan bahwa benda itu kuning dan bulat, dan seterusnya. Anda hanya dapat menjelaskannya dengan istilah yang umum, yakni warnanya yang kuning dan bentuknya yang bulat. Tidak ada cara lain. Setiap yang partikular tersusun dari universal. Dengan demikian universal tentunya nyata. Universal pasti ada. Keindahan, kuning, bulat pasti ada. Universal merupakan definisi dari emas.

Lihatlah sekali lagi pada mata uang emas. Cobalah untuk berpikir secara umum. Abaikanlah warna, bentuk, ukuran, dan berat — apakah yang masih tersisa pada akhirnya? Hanya substansi kosong yang secara pasif mendasari segala sesuatu — benda kosong yang menunjukkan atribut yang dengan sabar siap menanti untuk didefinisikan.

Ini jangan sampai dianggap sebagai ringkasan argumen Plato yang aktual. Tetapi ini merupakan latihan berpikir yang harus ia mulai dan pada akhirnya menuju kepada suatu teka-teki seperti Apakah perbedaan antara yang Ada (tanpa kualitas) dan yang Tiada. Adakah benda khusus (mata uang emas) tersusun dari substratum dan atribut, substansi dan peristiwa; atau ia hanya sebagai jumlah total dari semua perwujudannya?

Democritus berusaha untuk menyederhanakan dunia menjadi dua unsur, yakni Atom dan Kehampaan. Plato berusaha untuk menyederhanakannya menjadi Materi dan Bentuk. Hal yang istimewa dari solusi Plato adalah bahwa bentuk dipercaya sebagai eksistensi yang independen. Dunia sehari-hari mengungkapkan materi yang tercetak dalam bentuk; tetapi bentuk ditunjukkan secara tidak sempurna. Di balik pemandangan ini, di balik waktu dan ruang, terdapat dunia lain; yaitu dunia yang sempurna, pasti, dan menyenangkan. Di sanalah jiwa dapat merenungkan keindahan yang sesungguhnya, keadilan yang sesungguhnya, dan seluruh prosesi universal dapat dilihat dalam kesempurnaannya yang sublim.

Pengetahuan tentang realitas tidak diberikan oleh indera tetapi dipersepsikan dengan mata dan jiwa, di mana objeknya yang benar adalah mengkaji bentuk-bentuk gagasan universal. Dengan demikian pandangan bahwa sains tidak ada hubungannya dengan pengalaman merupakan gagasan yang sangat berbahaya, sebagaimana yang kemudian terjadi, meskipun nilai praktis Platonisme adalah seperti itu dengan menekankan — sebagaimana yang dilakukan Heraclitus — tentang tidak bermanfaatnya penggalan informasi yang tidak memiliki hubungan sehingga memusatkan perhatian pada pencarian hubungan yang bersifat logis dan matematis.

Whitehead menyatakan: “Karakterisasi umum yang aman dalam tradisi filsafat Eropa adalah bahwa ia terdiri dari sejumlah catatan kaki Plato. Saya tidak bermaksud mengatakannya sebagai skema pemikiran sistematik di mana para cendekiawan dengan ragu-ragu telah mengintisarikannya dari tulisan-tulisannya. Yang saya maksudkan adalah kekayaan gagasan umum yang tersebar melalui mereka. Kemampuan pribadinya, peluangnya yang luas untuk memperoleh pengalaman di sepanjang periode peradaban besar, warisannya atas tradisi intelektual belum diperkuat oleh penetapan sistematika yang kuat, menjadikan tulisan-tulisannya sebagai tambang gagasan yang tak pernah habis.” (Process and Reality).

Menegakkan Logika

Karya jenius Plato yang cemerlang dan nakal sangat memabukkan para penyair dan ahli matematika, dikoreksi melalui cara yang lebih mistis oleh Aristoteles yang tenang (384-322 S.M.). Plato telah mengangkat persoalan yang bersifat umum. Aristoteles mengambil alihnya; tetapi ia tidak dapat mengakui bahwa hal itu merupakan eksistensi yang terpisah. Bagi Aristoteles, alam semesta yang nyata terletak di antara dua ekstrem dari materi tak berbentuk dan bentuk tak bermateri (Tuhan).

Antusiasme Plato terhadap matematika telah menunjukkan jalan bagi ahli fisika; bakat Aristoteles dalam mengklasifikasi telah menunjukkan jalan bagi ahli biologi. Dengan melihat prestasi dua abad ke belakang, tampaklah bahwa ia mengajukan pertanyaan yang sangat fundamental. Atas dasar bahwa dunia tersusun dari beberapa substansi primer dan memiliki kualitas-kualitas umum, dengan proses perkembangannya, apakah yang menyebabkan ia bergerak? Apakah yang menjadi penyebabnya?

Dalam jangka waktu yang lama sesudahnya, tugas bagi para ilmuwan tampaknya terutama mengklasifikasi fenomena dan mencari penyebab. Aristoteles mengklasifikasikan Penyebab itu sendiri menjadi empat tipe — Material, Formal, Efisien, dan Final. Ia mengenal dengan sangat jelas kompleksitas yang ekstrem dari Penyebab. Segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki penyebab; setiap penyebab pasti memiliki efek. Selanjutnya, akibat pasti memiliki keserupaan dengan penyebabnya: Di sinilah materi tentang kontroversi yang terkenal tentang Kehendak bebas versus Determinisme telah dijelaskan secara implisit dalam teori atom. Di sini, benda memiliki penyebab, tentunya pasti ada Penyebab Pertama.

Aristoteles menegaskan bahwa pasti ada tujuan bagi segala sesuatu; benda-benda itu bergerak karena mereka harus mengejar tujuan akhir. Gagasan tentang penyebab akhir dan adaptasi diri bagi organisme yang berkembang untuk menuju kepada tujuan akhir masih mengambang bahkan dalam pandangan para ilmuwan yang dengan gusar menolaknya, lalu mengajukan pertanyaan terkenal: “Apakah arti kehidupan? Apakah tujuan Alam semesta?” Vitalisme bagi Driesch adalah Aristotalianisme modern.

Dua konsep berguna lainnya ditambahkan oleh Aristoteles, yakni Potensialitas dan Aktualitas. Pohon oak tidak diciptakan dari ketiadaan; semacam perubahan dari acorn menjadi oak terjadi secara potensial dalam acorn. Materi, dengan kualitas-kualitasnya, dengan demikian menunggu kesempatan dari potensial menjadi aktual.

Aristoteles membuat klasifikasi bekerjanya akal budi. Dengan demikian ia telah menegakkan sains dari logika formal. Ia membuat asas mengenai hal tersebut dengan proposisi yang sederhana, yakni sebuah subjek dengan sebuah predikat: “Semua manusia akan mati” atau “Bunga mawar itu merah.”

Ia menunjukkan argumen tentang proposisi pertama bahwa semua manusia akan mati: Socrates adalah manusia, dengan demikian Socrates akan mati. Tetapi merupakan kesalahan jika dikatakan misalnya, “Bunga mawar itu merah; bunga poppy itu merah; dengan demikian bunga mawar adalah bunga poppy.” Ia memberikan aturan yang dengannya kesalahan dalam berargumen seperti ini — yaitu kesimpulan yang ditarik dari dua premis — bisa diketahui.

Tetapi tidak ada lagi yang bisa diharapkan darinya sekalipun pikirannya yang cerdas menjadikan ia menguasai pengetahuan alam, filsafat, estetika, etika, dan politik. Bagaimanapun, kedalaman dan keluasan pemikirannya tetap menjadi keajaiban dunia. Di antara mereka, Plato dan Aristoteles telah merintis intelektualisme sehingga semua bentuk pemikirannya telah berpengaruh selama lebih dari seribu tahun.

Bahwa Gereja zaman pertengahan telah menetapkan sebuah dogma dari filsafat, ini bukanlah kesalahan Aristoteles. Ia hampir-hampir tidak dapat meramalkan bahwa doktrin tentang substansi dan aksiden akan digunakan untuk menjelaskan Tran-substansiasi, dan membuat ikatan sesungguhnya atas keyakinan.

Keterbatasan logika Aristotelian barn mulai direalisasikan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa ia menjelaskan tentang yang tak dapat dilihat, substratum yang tidak berkualitas: bahkan sebuah pernyataan yang sederhana seperti “Bunga mawar itu merah,” memasukkan sebuah entitas yang independen, yang dengannya kualitas merah dapat ditambahkan. Filsafat modern, pada masa-masa awalnya, menanyakan perlunya menetapkan postulat sebuah substansi yang mendasarinya.

Kita akan kembali ke topik ini dalam bab-bab mendatang, tetapi untuk sementara ini cukuplah dikatakan bahwa ketika ahli fisika kontemporer berbicara tentang peristiwa dan proses, bukannya benda, ketika ruang dan waktu dipandang sebagai relasi antar berbagai peristiwa, sebuah celah yang dalam muncul dalam mengasumsikan hal-hal yang sangat fundamental dari filsafat klasik. Ketika orang mengeluh bahwa sains kontemporer membelenggu akal sehat, biasanya yang dimaksud adalah sebagai penolakan terhadap Aristoteles, mereka lupa sejauh mana Aristoteles sendiri telah menjelajahi konsep-konsep akal sehat di mana hampir semua filosuf kuno bersatu dan melecehkannya sebagai “pandangan delusif.”

Pertanyaan yang diajukan pada milenium tersebut setelah Plato dan Aristoteles bagi telinga modern agaknya merupakan hal yang sepele yang hanya merupakan permainan kata. Yang menjadi perhatian mereka terutama adalah kedudukan yang universal. Tentu saja terdapat alasan politik dan ekonomi sehingga mengapa sains tidak dapat berkembang. Juga terdapat alasan-alasan intelektual yang sangat baik mengapa teori ilmiah menjadi lumpuh. Hal ini terutama terjadi karena adanya bentuk pertanyaan yang salah.

Jadi manusia bukannya bertanya bagaimana sesungguhnya benda bergerak melakukan kerjanya, tetapi mereka bertanya, “Apakah gerakan itu?” dan seterusnya. Mereka melakukan kesalahan dalam mengkaji definisi verbal dalam rangka mengkaji fenomena aktual. Mereka mencari “esensi” misterius yang sama sia-sianya dengan pencarian bentuk-bentuk Platonik atau batu filosuf.

Filsafat akan menjadi sebuah kekacauan dan permainan kata yang kosong makna seandainya ia tidak disikapi dengan orientasi yang baru. Kemajuan filsafat tergantung pada wawasan yang dengannya persoalan-persoalan lama diberi sebuah formulasi baru. Jawaban-jawaban tersebut tidak memberikan kita kebenaran final yang kita dambakan, tetapi dapat merangsang kita untuk lebih membatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang jelas.

Jika seseorang berasumsi bahwa saya menyarankan agar teori terkini yang muncul memerlukan penyempurnaan berdasarkan teori terdahulu, maka ia telah melakukan kesalahan dalam ‘membaca pernyataan saya dengan sangat jelas. Teori-teori itu sendiri tidak perlu diperbaiki untuk disesuaikan dengan berjalannya waktu, tetapi pengalaman kita dengan jelas menjadi lebih luas sehingga formulasi lama tidak lagi dapat meliputi seluruhnya. Kita telah menghadapi sebuah labirin intelektual; kita juga belum menemukan jalan keluarnya, tetapi pengetahuan kita tentang labirin tempat kita melakukan pengembaraan, bagaimanapun telah mengalami peningkatan.


Referensi Penting

  • Greek Thinkers, oleh J. Gornperz, Terjemahan Inggris; 1901.
  • Outlines of Greek Philosophy, oleh E. Zeiler, edisi ke-13, 1931.
  • Thales to Plato, oleh J. Burnet; 1914.
  • Plato and His Contemporaries, oleh G. C. Field; 1930.
  • Plato’s Theory a/Knowledge, oleh F. M. Cornford; 1935.
  • An Introduction to Ancient Philosophy, oleh A. H. Armstrong; 1947.
  • Aristsotle, olehW. Jaeger, Terjemahan Inggris; 1934.
  • Stoic and Epicurean, oleh R. D. Hicks; 1910. 
  • Banyak terdapat terjemahan yang bagus tentang Plato dan Aristoteles. Terjemahan F. M. Cornford, Timaeus (1937) dan The Republic (1914) mencantumkan catatan penjelasan yang sangat berharga. Terjemahan Jowett dalam Dialogues (5 vol.) diterbitkan kembali pada 1925. Terjemahan Oxford tentang Aristoteles (editor J. A. Smith dan W. D. Ross) merupakan terjemahan yang lengkap terdiri dari 11 jilid. Terjemahan Munro tentang Lucretius diterbitkan dengan komentar dan pengantar oleh Prof. Andrade pada 1928. Untuk Neo-Platonis lihat The Enneads of Plotinus, diterjemahkan oleh Mackenna dan Page (1926-1930), dan Select Passages Illustrative of Neoplatonism, oleh E. R. Dodds (1923).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar