Minggu, 10 Juni 2012

Filsafat (seri 1 Filsafat)


Apakah Filsafat Itu ? 

Sumber: Filsafat yang Menghibur karya Hector Hawton

Pada abad keenam S.M. ada sesuatu yang mengaduk-aduk kehidupan penduduk pantai kosmopolitan di Asia Kecil yang memiliki arti sangat penting bagi peradaban. Manusia mulai menanyakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan. Mereka mulai menanyakan dari apakah dunia diciptakan dan bagaimanakah asal mulanya.

Berdasarkan catatan yang ada, bentuk pemikiran seperti ini berlangsung tanpa preseden. Baik orang-orang Mesir maupun orang-orang Babylonia telah mempelajari matematika, astronomi, dan kedokteran. Mereka telah mencapai prestasi luar biasa dalam bidang ilmu ini, meskipun hasilnya masih dinyatakan dalam terminologi ilmu klenik. Tetapi, bidang keilmuan tersebut telah dikaji oleh para pendeta di sekolah-sekolah agama. Bidang-bidang keilmuan tersebut harus disesuaikan dengan kerangka kosmologi agama. Bagi orang awam, bergelut dengan pemikiran yang sangat mendalam seperti ini dianggap sebuah inovasi.

Tidak ada bukti bahwa varóa pendeta pernah membincang persoalan bagaimana dunia terwujud. Mereka hampir-hampir tidak pernah memecahkan persoalan dengan menggunakan akal budi. Mereka cukup puas bahwa mereka telah mengetahui jawabannya. Mereka adalah pemelihara dan penafsir kitab suci.

Penemuan tentang asal mula dan makna kehidupan merupakan persoalan yang dapat dipecahkan melalui perbincangan rasional yang menandai sejarah umat manusia. Hanya segelintir orang saja yang menyadari tentang persoalan ini; karena masyarakat pada masa-masa kebingungan tersebut, kehidupan berlangsung seperti sebelumnya. Sekalipun demikian, dobrakan pertama bagi pembebasan telah dicanangkan. Manusia mulai bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang tidak saja memperkaya kesadarannya sendiri, tetapi pada akhirnya juga menuju kepada kemampuan untuk mengendalikan kekuatan alam.

Penyelidikan pun dimulai, tidak semata-mata untuk memperoleh informasi, tetapi untuk memperoleh pemahaman. “Banyak belajar tidak akan membawa kepada pemahaman,” kata Heraclitus. Adapun yang dia maksudkan dengan pemahaman adalah “Terlihatnya jalan bagaimanakah cara kerja alam semesta.” Pengetahuan semacam ini tidak dapat diperoleh dari kepercayaan tradisional, sebagaimana anggapan sebagian besar orang. “Orang tidak boleh berbuat dan berbicara seperti orang-orang yang dididik dengan pandangan yang sempit, ‘Sebagaimana yang telah disampaikan kepada kita’

Dengan demikian, sebuah dalih telah dibuat untuk mempertahankan takhayul yang hingga kini menghalangi penyelidikan bebas. Angin baru pun bertiup di seluruh dunia. Manusia mulai memandang dunia dengan pandangan yang baru. Mereka berusaha menyingkap persoalan-persoalan yang tampaknya dapat dipecahkan melalui metode baru dan menggairahkan ini, dengan cara mengobservasi dengan penggunaan akal budi. Sebelumnya, dalam jangka waktu yang lama, pencarian kebenaran ini mengalami hambatan sekalipun telah dilakukan sebuah usaha yang sangat luar biasa; dan orang-orang yang menggunakan instrumen baru dan ilmiah disebut sebagai “pencinta kebenaran” — filsuf.

Sesungguhnya, kaum Ionian telah membuat pemisahan antara filsafat dan sains. Dewasa ini, pemisahan tersebut dapat dilihat berdasarkan fakta bahwa kita masih memiliki fakultas dalam filsafat alam dan filsafat mental di sebagian universitas kita, meskipun mata kuliah yang diajarkan tentu saja berupa fisika dan psikologi. Namun dalam kenyataannya, sekarang filsafat memiliki arti yang sangat terbatas. Hal ini terjadi karena filsafat telah menjadi korban kesuksesannya sendiri. Bermula dari penyelidikan tentang cara kerja alam semesta, cabang penyelidikan tersebut segera memberikan hasil yang positif, tetapi kemudian bidang tersebut dialihkan dari filsafat lalu dinamakan sebagai sains tertentu.

Dengan demikian, sains merupakan anak dari filsafat. Kini, ketika ia terlepas dari induknya lalu menjadi sains yang lebih matang; ia berpaling lagi kepada filsafat untuk memperoleh bimbingan darinya. Dari sinilah kita melihat bahwa fisika, sains yang paling mengalami kemajuan, menjadi semakin filosofis. Tetapi, sekalipun setiap pertanyaan tentang cara kerja alam semesta dapat dijelaskan oleh sains tertentu, masih tersisa pertanyaan tentang bagaimanakah cara kerja sains itu sendiri. Sering dinyatakan bahwa sains menyelidiki dirinya sendiri dan menyatakan bahwa sains adalah sains, yang tampaknya merupakan cabang terakhir yang masih tersisa dari filsafat. Tetapi prospeknya hanyalah semata-mata sebagai kemungkinan akademis, karena kemungkinan kita tidak pernah mencapai keadaan final. Filsuf dapat diberi sebuah tempat sebagai kritik atas konsep-konsepnya, sekalipun mungkin ia harus menghentikan konsepnya tentang terwujudnya sistem alam semesta.

Mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani Kuno. Jika kita beranggapan bahwa bagian paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya Akal Budi sebagai sebuah instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai diuji dengan kritis.

Ada ketidakpastian yang tak dapat dielakkan tentang pengklasifikasian seperti itu; tetapi beberapa titik pijak tetap harus ditentukan, dan jelas terdapat peluang yang sangat besar dalam iklim intelektual di Eropa pada abad keenam belas. Sekali lagi, sebuah pertanyaan baru mulai diajukan. Sekali lagi, sebuah angin baru pun bertiup, dan jurang lebar tampak menganga dalam gambaran tradisional tentang alam semesta. Sekali lagi, revolusi gagasan ini terjadi di luar sekolah agama, dan pada umumnya merupakan usaha jerih payah orang kebanyakan.

Selama Zaman Pertengahan, pemikiran semacam itu praktis terbatas di biara-biara. Jalan yang telah diretas oleh kaum Materialis Ionian terdahulu tidak diikuti. Penyelidikan yang dilakukan untuk menemukan titik terang telah diubah dari penyelidikan bebas terhadap alam semesta, dan untuk itulah Plato harus memikul kesalahan yang patut ditimpakan kepadanya. Perangkat logis yang telah diasah oleh Plato dan Aristoteles digunakan oleh kaum Skolastik untuk memberikan bentuk terhadap penggunaan akal budi yang mudah bagi keyakinan teologis mereka yang sungguh-sungguh menggelikan. Sayangnya diyakini bahwa hampir segala sesuatu yang dapat diketahui tentang alam semesta telah diketahui. Jadi semata-mata tetap sebagai sesuatu untuk mendeduksikan hasilnya.

Benar-benar merupakan sebuah lompatan besar ketika Yunani menemukan bahwa beberapa masalah dapat dipecahkan melalui perangkat intelektual. Akan tetapi, kaum Skolastik memblokade kemajuan tersebut dengan tetap puas, yakni berhenti sebatas pada pembahasan — yaitu dengan menggunakan argumentasi logis, sebagaimana Galileo pernah memprotesnya, “seperti ilmu klenik yang digunakan untuk menyihir planet-planet baru di langit.” Misalnya, diargumentasikan bahwa benda berat seperti timah pasti jatuh ke tanah dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan benda yang lebih ringan. Sebagaimana setiap orang tahu, Galileo pernah meletakkan benda tersebut untuk diuji.

Dengan klaimnya atas eksperimen tersebut, Galileo telah menorehkan sebuah garis baru dalam penyelidikan. Berbagai eksperimen sesungguhnya telah dilakukan dalam dunia klasik, tetapi sesungguhnya eksperimen-eksperimen tersebut telah dilupakan. Galileo mulai melakukan pembagian antara filsafat eksperimental dan filsafat pemikiran yang muncul pada sains modern. Hampir dalam sekali pukulan, filsafat tampaknya kehilangan separuh dari kerajaannya. Tetapi kita harus ingat bahwa filsafat telah berusaha menjelajahi seluruh alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat.

Sesungguhnya filsafat modern berangkat dari pembagian ini. Setelah itu tidak perlu lagi untuk menunjukkan bagaimana bekerjanya alam semesta yang dapat dilihat, sehingga hal ini mendorong pencarian hal-hal lain yang masih menjadi teka-teki. Persoalan tentang alam semesta yang dapat dilihat ditinggalkan oleh Galileo, Kepler, Newton, dan para penerusnya; sedangkan para filsuf melihat ke dalam diri mereka sendiri, yakni pikiran mereka. Dalam melakukan hal itu, mereka mengambil benang yang telah dipintal hampir 2.000 tahun sebelumnya oleh Ephesus, ketika Heraclitus mengumumkan, “Aku mencari diriku sendiri.”

Maka Descartes menanyakan apakah pengetahuan yang dimiliki manusia dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, dan ia memberikan jawabannya yang sangat terkenal Cogito, ergo sum: Aku berpikir, maka aku ada.

Sekalipun dalam beberapa hal ia merupakan seorang inovator yang berani, Descartes tidak dapat melepaskan diri dan jeratan paham zaman pertengahan. Baik dia maupun Leibniz mengajukan pertanyaan di bawah tatapan tajam ahli-ahli teologi, dan mereka harus menyediakan ruangan dalam sistem mereka mengenai eksistensi Tuhan dan keabadian ruh.

Locke dalam beberapa hal merupakan seorang sosok pelopor yang lebih jujur dalam apa yang disebut sebagai filsafat modern, Locke mengajukan pertanyaan yang masih relevan. Pertanyaan Locke menyebabkan Berkeley dan penentang gigih seperti Lenin menyatakan pendapatnya — yang didukung oleh Bertrand Russell — bahwa sesungguhnya tidak ada pembelaan baru terhadap teori Idealisme Subjektif atas argumen Berkeley.

Pandangan Berkeley mengusik skeptisisme Hume yang masih berpengaruh sehingga dialah yang mengakui inspirasi dan mazhab filsafat terkini, yakni Positivisme Logis. Skeptisisme Hume sangat mengganggu Kant sehingga sebagian besar filsafat Kant merupakan upaya untuk menjawabnya. Setelah Kant tampillah Hegel, yang segera berusaha menjawab pertanyaan setiap orang dengan mengklaim bahwa ia telah membuat pembatasan atas filsafat alam semesta yang meliputi semua yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi Hegel bukan merupakan yang terakhir; serangan yang paling sengit terhadap proposisi Hegel adalah Materialisme Dialektis, yakni filsafat resmi Uni Soviet. Persoalan inilah yang sesungguhnya membawa kita kepada dunia kontemporer — dan para filsuf masih mencari pertanyaan-pertanyaan baru untuk diajukan.

Bagaimanakah filsafat mencapai kemajuan

Filsafat sangat unik dalam perkembangannya karena kemajuannya dapat diukur dengan sejenis pertanyaan yang harus diajukan ketimbang melalui keberhasilan dalam memberikan jawaban. Adalah suatu pernyataan yang berlebihan jika dikatakan bahwa jawaban-jawaban tersebut bukan merupakan persoalan besar, tetapi jelas-jelas kurang memiliki makna penting bagi jawaban-jawaban dari ilmuwan. Jika kita melihat semata-mata pada jawaban yang kita hadapi melalui berbagai teori yang membingungkan, disertai dengan sedikit kesepakatan sehingga seluruh pokok persoalan menjadi tampak sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Beberapa sejarah filsafat yang meletakkan teori ini secara berdampingan adalah sebagaimana barang-barang yang diletakkan di etalase toko, sehingga mahasiswa dimaklumi jika memiliki perasaan, “jika anda membayar sejumlah uang, anda dapat menentukan pilihan.”

Saya yakin bahwa pendekatan semacam itu sangat menyesatkan. Tentunya merupakan kesalahan jika sebuah sejarah filsafat menyerupai sebuah Gabungan Otak sehingga mahasiswa harus duduk kembali dan mendengarkan pendapat Plato, Descartes, Locke, Kant, dan sebagainya, seakan-akan mereka sedang diartikulasikan untuk pertama kalinya dan dinilai berdasarkan prestasi individualnya. Yang demikian ini bukan sejarah sama sekali, karena ia meninggalkan aspek rentang waktu dan perubahan situasi.

Para filsuf tidaklah hidup dalam sebuah kehampaan waktu. Mereka melihat persoalan-persoalan mereka dalam perspektif zaman yang mereka hadapi. Para filsuf dari masa lalu, seberapa pun kecemerlangan intelektual mereka, memiliki keterbatasan pengetahuan dan kosa kata. Lalu apakah gunanya membicarakan tentang ketidakterbatasan dengan Zeno jika ia tetap masa bodoh dengan matematika yang telah memecahkan berbagai paradoks yang telah ia kemukakan? Atau, masih berkenaan dengan persoalan tersebut, bagaimanakah kita dapat membincangkan secara bermanfaat tentang ruang dan waktu absolut dengan Kant, jika tidak ada referensi yang dapat diberikan mengenai fisika relativitas?

Orang modern memang mempunyai kebiasaan untuk menyebut diri mereka sebagai seorang Platonis atau seorang Aristotelian. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Plato dan Aristoteles mungkin memang jawaban yang terbaik pada zaman mereka, tetapi pengalaman-pengalaman yang telah terakumulasi tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Kita pasti akan menemukan pendapat-pendapat yang membangkitkan semangat yang banyak terdapat dalam filsafat-filsafat masa lalu, tetapi tentu saja dengan persyaratan yang ketat. Cara yang paling bermanfaat tentu saja dengan memperhatikan bagaimanakah setiap filsuf, dari Thales dan seterusnya, mengajukan beberapa pertanyaan baru, yang teranyam dalam argumen segar; dan kemudian kita dapat mengikuti gagasan orisinal yang berlangsung turun temurun dari zaman ke zaman, seperti sebuah bola, dari satu pertanyaan ke pertanyaan yang lain.

Ini artinya bahwa pada hari ini kita memiliki suatu keberuntungan yang besar. Kita tinggal menyaring pengalaman selama berabad-abad. Kita tidak saja mengetahui, misalnya, hal-hal yang ditanyakan oleh Locke, tetapi juga hal-hal yang dipikirkan oleh Berkeley tentang pertanyaan itu, bagaimanakah kelanjutan dari pertanyaan tersebut ketika hinggap di berbagai pikiran seperti Hume dan Kant. Namun pertanyaan dan pemikiran itu menghilang ditelan proses sejarah. Terdapat banyak kesalahan dalam argumen-argumen yang kita sendiri tidak mengetahuinya, tetapi kemudian dengan berjalannya waktu, argumen-argumen tersebut terungkap.

Jika kita melihat jauh ke belakang, kita juga dapat melihat hal-hal yang sama sekali tidak terbukti pada saat itu — bahwa filsafat muncul dari latar belakang agama. Sebagaimana agama itu sendiri, yang muncul dari takhayul animistik, ia mempertahankan pandangan-pandangannya dari tingkatan yang rendah, demikian pula, filsafat juga mempertahankan pandangan agama tertentu. Hal itu terjadi sebelum penggunaan kekuatan Akal Budi dihargai dengan semestinya. Insting para filsuf terdahulu dipakai untuk meletakkan sebuah sistem sebagai hal yang dogmatis sebagai sebuah kosmologi agama. 

Sebagaimana yang ditulis Profesor Cornford, “Daya tarik para filsuf Yunani terdahulu terletak pada fakta bahwa pada umumnya mereka tidak terganggu sama sekali ketika menemukan argumen yang buruk, tetapi hanya menyatakan keyakinan mereka secara dogmatis. Mereka menghasilkan sebuah sistem seperti halnya seorang seniman ketika menciptakan karya seni. Sikap mereka adalah, ‘Bagaimanakah dunia ini terjadi.’ Dan sistem itu sendiri, yang berbeda dengan argumen mana pun, yang dapat dianyam sehingga tercipta sebuah kain, kini dilempar jauh-jauh seperti sebuah patung atau puisi, seperti ungkapan dari beberapa pemikiran atau perasaan yang terkandung dalam batin lalu diucapkan.” (From Religion to Philosophy).

Metode orakular ini dipakai oleh beberapa filsuf besar. Mereka membangun sistem yang luas dan rumit yang tidak saja menandingi deskripsi agama tetapi juga menjadikan sains pada masa itu tampak sangat lamban dan membosankan. Sistem tersebut diklaim sebagai deduksi dari prinsip-prinsip yang diasumsikan sebagai prinsip pembuktian-diri. Akibatnya, sistem tersebut tampak seperti menawarkan sebuah jalan lebar menuju pengetahuan yang terlepas dari metode sains yang bersifat trial and error. Sistem itu kemudian menjadi sampah dari perjalanan sejarah dari penyelidikan filosofis seperti tulang-tulang mammoth yang telah punah, dan tampaknya ia menjadi sesuatu yang mustahil sehingga kita perlu melihat usaha semacam itu yang lebih banyak.

Bentuk filsafat ini kadang-kadang disebut sebagai “Meta-fisika” yang mengalami kehancuran ketika sains mengambil alih pengkajian tentang cara kerja alam semesta. Perjalanan waktu telah membuktikan bahwa tidak ada lagi harapan bagi metafisika untuk bersaing dengan metode eksperimental. Penyelidikan terhadap alam tidak lagi dapat dilaksanakan di atas kursi. Namun, ada penyelidikan yang sangat penting yang tentu saja dapat dilaksanakan dari atas kursi. Salah satu di antaranya adalah matematika; dan filsafat, sebagaimana yang dikenal luas pada hari ini, adalah contoh lainnya.

Problema Modern

Bagaimanakah filsafat pada umumnya dipahami pada hari ini? Perubahan makna apakah yang telah terjadi dalam menggunakan istilah? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat kita harus melacak penjelajahan sepanjang sejarah atas gagasan-gagasan yang telah dicampakkan oleh para filsuf masa lalu. Saya kira kita akan melihat bahwa kemajuan telah diraih, meskipun belum seperti yang diharapkan. Kita akan melihat bahwa hasil-hasil yang mendasar telah menjadi lebih jelas, dan pertanyaan yang diajukan menjadi lebih rumit sehingga meningkatkan pemahaman kita tentang apa yang sesungguhnya kita lakukan.

Betapapun rumitnya pertanyaan, pokok persoalannya sesungguhnya berada di dekat kita. Kita jangan sampai meninggalkan profesi kita untuk menyelidikinya. Kita tidak perlu menjadikan filsafat sebagai profesi kita. Prestasi-prestasi besar justru diraih oleh para amatir yang cemerlang yang memulai karirnya dengan serangkaian pemikiran yang dilakukan oleh orang-orang awam yang cerdas di sela-sela waktu senggang mereka. Lalu merembet kepada para budak, tentara, dan negarawan, dan paling tidak karya yang penting telah dihasilkan oleh orang-orang yang berprofesi — sebagai dokter, ahli optik, kepala sekolah, dan pegawai negeri — seperti layaknya para profesional.

Alangkah absurdnya bagi seorang amatir untuk menyatakan pendapatnya tentang Teori Kuantum; tetapi masih mungkin bagi seorang filsuf amatir untuk mengatakan hal-hal yang penting. Ilmuwan profesional seringkali mengabaikan hal-hal yang sangat penting dalam kapasitas mereka sebagai filsuf amatir; tetapi mereka sering mengatakan hal-hal yang tolol, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Susan Stebbing dalam Philosophy and the Physicists. Untuk membela filsuf amatir bukan berarti bahwa siapa saja dapat duduk-duduk kapan saja lalu mengatakan sesuatu yang berharga tentang filsafat. Mengacu kepada Eddington misalnya, Dr. Stebbing berkomentar, “Kekurangannya dalam pendidikan filsafat (kesimpulan saya berdasarkan tulisannya, bukan dari informasi pribadi sebagaimana dalam daftar bacaannya) menjadikan mungkin baginya untuk tergelincir dalam kesulitan yang mau tidak mau harus ia hindari.”

Beberapa orang yang sangat tergesa-gesa untuk bertempur tidak mempedulikan bagaimanakah pertanyaan yang telah menjerumuskan mereka sangat dalam juga pernah terjadi pada masa lampau. Tanpa mengetahuinya, mereka menggunakan argumen yang pada zaman dahulu terbukti sebagai argumen yang salah, dan mereka mengajukan pertanyaan yang pada masa lampau pernah diperbaiki dengan perbaikan yang hati-hati. Mengabaikan warisan masa lalu yang kaya tentu saja merupakan sikap arogan Para pedagang Miletus yang memikirkan tentang terwujudnya alam semesta beberapa ribu tahun yang lalu melihat alam semesta sebagaimana yang kita lihat pada saat ini; indera mereka memberikan data yang sama, pikiran mereka paling tidak sama cerdasnya dengan pikiran modern yang paling cerdas. Tetapi mereka memulai dengan sebuah halaman yang kosong. Pada waktu itu tidak ada “daftar bacaan” yang dapat membantu mereka, bukan semata-mata untuk memecahkan persoalan mereka, tetapi untuk menyatakan kembali keadaan mereka dalam bentuk sedemikian rupa sehingga mereka mampu memecahkan persoalan.

Beberapa persoalan yang membingungkan para filsuf pada masa lalu sebagian, bahkan mungkin seluruhnya telah terpecahkan. Persoalan-persoalan itu telah diambil alih oleh para ilmuwan. Tetapi kemajuan sains telah menyingkap persoalan-persoalan aktual sehingga para ahli fisika modern mengalihkan perhatian mereka kepada filsafat, bukannya melecehkannya, sebagaimana yang pernah diusahakan oleh para pendahulu mereka. Mereka berpaling kepada filsafat karena ingin belajar memformulasikan berbagai pertanyaan secara lebih akurat dan sangat mendasar. Pada abad ketujuh belas, ketika filsafat dan sains terpisah, orang beralih untuk menganalisis pengalaman, sedangkan yang lain mengalihkan perhatiannya pada eksperimen fisika, sehingga cara tersebut menuju kepada kejelasan sehingga persoalan-persoalan baru semakin jelas bentuknya.

Dengan demikian, jika orang bertanya tentang bentuk pertanyaan tentang apakah yang ingin dijawab oleh filsafat pada hari ini, sebuah jawaban singkat akan dikemukakan bahwa hal itu terutama bersangkutan dengan istilah-istilah yang menyatakan tentang pengalaman kita. Tetapi jangan sampai diartikan bahwa filsafat modern itu bersifat subjektif. Sesungguhnya, sebagian orang berpendapat bahwa apa yang menjadi pengalaman kita hanya ada dalam pikiran; sedangkan yang lain akan membantahnya, sekalipun mereka mungkin masih puas untuk menyebutkan hal-hal yang mereka analisis, yaitu Pengalaman. Persoalannya adalah bagaimanakah harus mengartikan istilah-istilah seperti Pengalaman, Pikiran, dan Keberadaan.

Bagi Bertrand Russell, filsafat modern tidak bersifat metafisik juga tidak subjektif. Ia menulis, “Pada umumnya, membuktikan kebenaran agama dianggap sebagai urusan filsafat. Realisme baru tidak mengakui bahwa filsafat dapat membuktikannya, atau bahkan menolaknya. Tujuannya hanyalah menjelaskan gagasan-gagasan fundamental tentang sains, dan untuk mensintesakan berbagai sains berdasarkan pandangan tunggal yang komprehensif terhadap fragmen dunia yang menyatakan bahwa sains telah berhasil melakukan eksplorasi. Ia tidak mengetahui apa yang ada di balik itu; ia tidak memiliki jimat untuk mengubah kebodohan menjadi pengetahuan. Ia menawarkan kegairahan intelektual kepada orang-orang yang menghargainya, tetapi ia tidak berupaya untuk membujuk kesombongan manusia sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar filsafat. Jika ia bersifat kering dan teknis, maka ia meletakkan kesalahan pada alam semesta, yang telah memilih bekerja dengan cara matematis bukannya seperti yang diinginkan oleh penyair atau mistikus.” (Sceptical Essays’).

Whitehead lebih bersimpati kepada metafisika, tetapi ia menentang pandangan subjektif meskipun ia puas dengan menyatakan bahwa ia telah membuat analisis berdasarkan Pengalaman. “Filsafat spekulatif,” ia menulis, “adalah upaya untuk meletakkan kerangka sistem yang konsisten, logis, dan perlu terhadap gagasan-gagasan umum dalam arti bahwa setiap unsur pengalaman kita dapat diinterpretasikan.” Dan untuk menjadikan persoalan ini semakin jelas, ia meneruskan, “Setiap sains harus mengembangkan instrumennya sendiri. Peralatan yang diperlukan oleh filsafat adalah bahasa. Dengan demikian, filsafat merancang ulang bahasa dengan cara yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan alam, yang peralatannya telah dirancang ulang.” (Process and Reality).

Diperlukan waktu berabad-abad untuk berpikir keras sebelum terlaksananya realisasi tersebut sehingga kata-kata tidak secara abadi menetapkan berbagai hal, sehingga kata-kata itu dapat dicampakkan dalam tumpukan, dan kata-kata yang baru pun diciptakan, sehingga sebagian seakan-akan merupakan persoalan yang tak terpecahkan karena kesulitan untuk mengekspresikannya, sehingga kecelakaan dalam bentuk tata bahasa pada bahasa tertentu menciptakan persoalan artifisial yang tidak ada sangkut pautnya dengan pokok persoalan yang sedang dibahas. Dewasa ini, filsuf dihadapkan dengan pengalamannya atau, jika anda lebih suka menyebutnya seperti itu, maka dengan fakta itu dia bebas untuk menyusun perkataan apa saja yang ia sukai, dan menemukan kategori apa saja yang ia anggap menyenangkan, sehingga dapat menyortir pengalaman-pengalaman dan mengklasifikasikannya. Ia sendiri misalnya, membuat kelas yang ia sebut sebagai Ilusi; dan ia membuat kelas lain yang ia sebut sebagai Realitas. Tidak ada batas dalam sejumlah konsep yang dapat ia bangun, yaitu Benda, Pikiran, Kehidupan, Substansi, Peristiwa, Penyebab, Hukum, dan sebagainya.

Tetapi saya sedang melakukan antisipasi. Namun, seluruh kisah tidak dapat diceritakan. Untuk sementara ini, saya hanya ingin menekankan perbedaan penting antara filsafat kuno dan filsafat modern. Sikap modern bersifat laten dalam kontroversi yang telah berlalu, misalnya Nominalisme, tentu saja benar; tetapi pandangan bahwa bahasa merupakan alat untuk menginterpretasikan pengalaman, dan alat tersebut dapat dirancang ulang, sepenuhnya merupakan hal yang baru dalam penerapannya yang menyeluruh. Sains, agama, sastra, bahkan filsafat itu sendiri, harus dinyatakan dalam bahasa; demikian pula kritik terhadap bahasa, karena ia merupakan sebuah kritik bagi instrumen berpikir itu sendiri, yang sangat asasi.

“Ketika saya menggunakan sepatah kata,” Humpty-Dumpty berkata dalam nada yang agak melecehkan, “itu artinya sama dengan apa yang saya pilih untuk menyatakan artinya, tidak lebih tidak kurang.”

“Pertanyaannya adalah,” kata Alice, “apakah anda dapat membuat kata-kata dengan maksud yang menunjukkan berbagai hal.”

“Pertanyaannya adalah,” kata Humpty-Dumpty, “manakah yang menjadi masternya, itulah yang terpenting.”

Pada umumnya, kita dapat mengatakan bahwa hampir semua filsuf kuno dan abad pertengahan, kata-kata merupakan master; dan inilah hal yang diharapkan dapat ditemukan agar secara historis dapat melihat munculnya filsafat dari agama, dengan sikap yang quasi-magis terhadap nama-nama. Bagi hampir semua filsuf modern, kata-kata adalah instrumen, dan meskipun sikap ini dipegang oleh berbagai mazhab yang berbeda-beda, ia merupakan salah satu temuan positif yang pernah muncul selama berabad-abad perdebatan.

Untuk memahami pentingnya persoalan tersebut, bagaimanapun mula-mula kita harus menyelidiki hal-hal yang menjadi penyebabnya. Tak seorang pun, betapapun cerdasnya ia, dapat membuka sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf kontemporer dan memahami apa yang ia baca tanpa terlebih dahulu mengenal sejarah filsafat. Tak seorang pun yang mengabaikan berbagai kontroversi besar pada masa lampau dapat memahami kutipan sederhana yang saya ambil dari Russell dan Whitehead. Bahasa Inggris cukup jelas, tetapi kamus yang menjelaskan istilah tersebut tidak menceritakan apa pun kepada kita mengenai asosiasi dan pertikaian di antara mereka. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan Realisme? Apakah yang dimaksud dengan Subjektif, Objektif, Koheren, Asasi, Interpretasi?

Kaum Ionian tidak akan memahami apa yang dimaksud dengan merancang ulang bahasa untuk menginterpretasikan pengalaman, yakni untuk merancang serangkaian jaring-jaring istilah abstrak sehingga dapat menjaring ikan di antara kekacauan yang terjadi dan menyusun hasil tangkapannya secara berurutan. Kita juga tidak dapat memahami tentang apa yang dimaksud dengan pernyataan semacam itu kecuali jika kita mengetahui segala sesuatu tentang proses yang dinyatakan oleh kaum Ionian yang lambat laun menuju kepada situasi modern. 

Buku ini terutama membahas tentang filsafat modern. Karena alasan tempat, pembahasan kita tentang hal-hal yang ditanyakan oleh para filsuf pada abad ketujuh belas terpaksa harus singkat. Akan tetapi, ketika persoalan Pengetahuan muncul, saya akan membicarakannya dengan lebih detail dengan membahas proses merancang ulang bahasa yang tanpa kita sadari telah dimulai, tetapi pada saat ini telah disadari, dan sesungguhnya tugas utamanya terserah kepada para filsuf untuk melaksanakannya.

Perjalanan ini akan membawa kita jauh ke masa lalu dalam sejarah, dan kita akan mengikuti perkembangan gagasan di sepanjang rute yang sangat menyiksa. Kita akan berlari dalam culs-de-sac dan seringkali harus mengulang kembali langkah-langkah kita; tetapi kita sampai kapan pun harus menyaksikan penjelajahan yang sangat menarik atas jiwa manusia pada saat kesadarannya semakin mendalam dan ia menjadi sadar atas kekuatan kreatifhya sendiri. Perjalanan seperti itu, di antara pikiran-pikiran terbaik dari otak-otak yang terbaik, tentu saja sangat bernilai seandainya ia dapat memberikan kegairahan intelektual. Hal itu akan membantu kita dalam memperjelas gagasan kita sendiri dan berpikir dengan sedikit lebih benar; dan ia akan menjadikan kita rendah hati ketika kita melihat betapa butanya, bahkan orang besar sekalipun, dan akan menjadi toleran begitu kita menyadari tentang adanya berbagai pandangan tentang alam semesta.

Referensi Penting

The Problems of Philosophy, oleh Bertrand Russell; 1912.
A History of Western Philosophy, oleh Bertrand Russell; 1947.
From Religion to Philosophy, oleh F. M. Cornford; 1912.
An Introduction to Logic, oleh H. W B. Joseph; 1916.
A Sketch of Medieval Philosophy, oleh D. J. B. Hawkins; 1947.
The Open Society and Its Enemies (Vol. I), oleh K. R. Popper; 1946.
The Grammar of Science, oleh Karl Pearson; 1911.
The Mind and Its Place in Nature, oleh C. D. Broad; 1925.
Science and Human Experience, oleh H. Dingle; 1931.
The Nature of the Physical World, oleh A. Eddington; 1928.
Language, Truth, and Logic, oleh A. J. Ayer; 1946.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar