Apakah Filsafat Itu ?
Sumber: Filsafat yang Menghibur karya Hector Hawton
Pada
abad keenam S.M. ada sesuatu yang mengaduk-aduk kehidupan penduduk pantai kosmopolitan
di Asia Kecil yang memiliki arti sangat penting bagi peradaban. Manusia mulai
menanyakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan. Mereka mulai
menanyakan dari apakah dunia diciptakan dan bagaimanakah asal mulanya.
Berdasarkan catatan
yang ada, bentuk pemikiran seperti ini berlangsung tanpa preseden. Baik orang-orang
Mesir maupun orang-orang Babylonia telah mempelajari matematika, astronomi, dan
kedokteran. Mereka telah mencapai prestasi luar biasa dalam bidang ilmu ini, meskipun
hasilnya masih dinyatakan dalam terminologi ilmu klenik. Tetapi, bidang keilmuan
tersebut telah dikaji oleh para pendeta di sekolah-sekolah agama. Bidang-bidang
keilmuan tersebut harus disesuaikan dengan kerangka kosmologi agama. Bagi orang
awam, bergelut dengan pemikiran yang sangat mendalam seperti ini dianggap sebuah
inovasi.
Tidak ada bukti bahwa
varóa pendeta pernah membincang persoalan bagaimana dunia terwujud. Mereka hampir-hampir
tidak pernah memecahkan persoalan dengan menggunakan akal budi. Mereka cukup puas
bahwa mereka telah mengetahui jawabannya. Mereka adalah pemelihara dan penafsir
kitab suci.
Penemuan tentang
asal mula dan makna kehidupan merupakan persoalan yang dapat dipecahkan melalui
perbincangan rasional yang menandai sejarah umat manusia. Hanya segelintir orang
saja yang menyadari tentang persoalan ini; karena masyarakat pada masa-masa kebingungan
tersebut, kehidupan berlangsung seperti sebelumnya. Sekalipun demikian, dobrakan
pertama bagi pembebasan telah dicanangkan. Manusia mulai bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan
seperti itu yang tidak saja memperkaya kesadarannya sendiri, tetapi pada akhirnya
juga menuju kepada kemampuan untuk mengendalikan kekuatan alam.
Penyelidikan pun dimulai,
tidak semata-mata untuk memperoleh informasi, tetapi untuk memperoleh pemahaman.
“Banyak belajar tidak akan membawa kepada pemahaman,” kata Heraclitus. Adapun
yang dia maksudkan dengan pemahaman adalah “Terlihatnya jalan bagaimanakah cara
kerja alam semesta.” Pengetahuan semacam ini tidak dapat diperoleh dari
kepercayaan tradisional, sebagaimana anggapan sebagian besar orang. “Orang
tidak boleh berbuat dan berbicara seperti orang-orang yang dididik dengan pandangan
yang sempit, ‘Sebagaimana yang telah disampaikan kepada kita’
Dengan demikian, sebuah
dalih telah dibuat untuk mempertahankan takhayul yang hingga kini menghalangi penyelidikan
bebas. Angin baru pun bertiup di seluruh dunia. Manusia mulai memandang dunia
dengan pandangan yang baru. Mereka berusaha menyingkap persoalan-persoalan yang
tampaknya dapat dipecahkan melalui metode baru dan menggairahkan ini, dengan
cara mengobservasi dengan penggunaan akal budi. Sebelumnya, dalam jangka waktu
yang lama, pencarian kebenaran ini mengalami hambatan sekalipun telah dilakukan
sebuah usaha yang sangat luar biasa; dan orang-orang yang menggunakan instrumen
baru dan ilmiah disebut sebagai “pencinta kebenaran” — filsuf.
Sesungguhnya, kaum
Ionian telah membuat pemisahan antara filsafat dan sains. Dewasa ini, pemisahan
tersebut dapat dilihat berdasarkan fakta bahwa kita masih memiliki fakultas dalam
filsafat alam dan filsafat mental di sebagian universitas kita, meskipun mata kuliah
yang diajarkan tentu saja berupa fisika dan psikologi. Namun dalam kenyataannya,
sekarang filsafat memiliki arti yang sangat terbatas. Hal ini terjadi karena filsafat
telah menjadi korban kesuksesannya sendiri. Bermula dari penyelidikan tentang
cara kerja alam semesta, cabang penyelidikan tersebut segera memberikan hasil
yang positif, tetapi kemudian bidang tersebut dialihkan dari filsafat lalu
dinamakan sebagai sains tertentu.
Dengan demikian,
sains merupakan anak dari filsafat. Kini, ketika ia terlepas dari induknya lalu
menjadi sains yang lebih matang; ia berpaling lagi kepada filsafat untuk memperoleh
bimbingan darinya. Dari sinilah kita melihat bahwa fisika, sains yang paling mengalami
kemajuan, menjadi semakin filosofis. Tetapi, sekalipun setiap pertanyaan tentang
cara kerja alam semesta dapat dijelaskan oleh sains tertentu, masih tersisa
pertanyaan tentang bagaimanakah cara kerja sains itu sendiri. Sering dinyatakan
bahwa sains menyelidiki dirinya sendiri dan menyatakan bahwa sains adalah
sains, yang tampaknya merupakan cabang terakhir yang masih tersisa dari
filsafat. Tetapi prospeknya hanyalah semata-mata sebagai kemungkinan akademis,
karena kemungkinan kita tidak pernah mencapai keadaan final. Filsuf dapat diberi
sebuah tempat sebagai kritik atas konsep-konsepnya, sekalipun mungkin ia harus menghentikan
konsepnya tentang terwujudnya sistem alam semesta.
Mustahil untuk memberikan
definisi yang memuaskan tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya.
Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung
dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau bersusah
payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang harus dilakukan
oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani Kuno. Jika kita beranggapan bahwa bagian
paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya Akal Budi sebagai
sebuah instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap
filsafat kuno dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen
itu sendiri mulai diuji dengan kritis.
Ada ketidakpastian
yang tak dapat dielakkan tentang pengklasifikasian seperti itu; tetapi beberapa
titik pijak tetap harus ditentukan, dan jelas terdapat peluang yang sangat besar
dalam iklim intelektual di Eropa pada abad keenam belas. Sekali lagi, sebuah
pertanyaan baru mulai diajukan. Sekali lagi, sebuah angin baru pun bertiup, dan
jurang lebar tampak menganga dalam gambaran tradisional tentang alam semesta. Sekali
lagi, revolusi gagasan ini terjadi di luar sekolah agama, dan pada umumnya
merupakan usaha jerih payah orang kebanyakan.
Selama Zaman Pertengahan,
pemikiran semacam itu praktis terbatas di biara-biara. Jalan yang telah diretas
oleh kaum Materialis Ionian terdahulu tidak diikuti. Penyelidikan yang dilakukan
untuk menemukan titik terang telah diubah dari penyelidikan bebas terhadap alam
semesta, dan untuk itulah Plato harus memikul kesalahan yang patut ditimpakan
kepadanya. Perangkat logis yang telah diasah oleh Plato dan Aristoteles
digunakan oleh kaum Skolastik untuk memberikan bentuk terhadap penggunaan akal budi
yang mudah bagi keyakinan teologis mereka yang sungguh-sungguh menggelikan. Sayangnya
diyakini bahwa hampir segala sesuatu yang dapat diketahui tentang alam semesta
telah diketahui. Jadi semata-mata tetap sebagai sesuatu untuk mendeduksikan hasilnya.
Benar-benar
merupakan sebuah lompatan besar ketika Yunani menemukan bahwa beberapa masalah
dapat dipecahkan melalui perangkat intelektual. Akan tetapi, kaum Skolastik memblokade
kemajuan tersebut dengan tetap puas, yakni berhenti sebatas pada pembahasan
— yaitu dengan menggunakan argumentasi logis, sebagaimana Galileo pernah
memprotesnya, “seperti ilmu klenik yang digunakan untuk menyihir planet-planet
baru di langit.” Misalnya, diargumentasikan bahwa benda berat seperti timah pasti
jatuh ke tanah dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan benda
yang lebih ringan. Sebagaimana setiap orang tahu, Galileo pernah meletakkan
benda tersebut untuk diuji.
Dengan klaimnya atas
eksperimen tersebut, Galileo telah menorehkan sebuah garis baru dalam
penyelidikan. Berbagai eksperimen sesungguhnya telah dilakukan dalam dunia klasik,
tetapi sesungguhnya eksperimen-eksperimen tersebut telah dilupakan. Galileo
mulai melakukan pembagian antara filsafat eksperimental dan filsafat pemikiran
yang muncul pada sains modern. Hampir dalam sekali pukulan, filsafat tampaknya kehilangan
separuh dari kerajaannya. Tetapi kita harus ingat bahwa filsafat telah berusaha
menjelajahi seluruh alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat.
Sesungguhnya
filsafat modern berangkat dari pembagian ini. Setelah itu tidak perlu lagi untuk
menunjukkan bagaimana bekerjanya alam semesta yang dapat dilihat, sehingga hal
ini mendorong pencarian hal-hal lain yang masih menjadi teka-teki. Persoalan tentang
alam semesta yang dapat dilihat ditinggalkan oleh Galileo, Kepler,
Newton, dan para penerusnya; sedangkan para filsuf melihat ke dalam diri
mereka sendiri, yakni pikiran mereka. Dalam melakukan hal itu, mereka mengambil
benang yang telah dipintal hampir 2.000 tahun sebelumnya oleh Ephesus, ketika
Heraclitus mengumumkan, “Aku mencari diriku sendiri.”
Maka Descartes
menanyakan apakah pengetahuan yang dimiliki manusia dengan keyakinan yang tak tergoyahkan,
dan ia memberikan jawabannya yang sangat terkenal — Cogito, ergo sum:
Aku berpikir, maka aku ada.
Sekalipun dalam beberapa
hal ia merupakan seorang inovator yang berani, Descartes tidak dapat melepaskan
diri dan jeratan paham zaman pertengahan. Baik dia maupun Leibniz mengajukan
pertanyaan di bawah tatapan tajam ahli-ahli teologi, dan mereka harus menyediakan
ruangan dalam sistem mereka mengenai eksistensi Tuhan dan keabadian ruh.
Locke dalam beberapa hal
merupakan seorang sosok pelopor yang lebih jujur dalam apa yang disebut sebagai
filsafat modern, Locke mengajukan pertanyaan yang masih relevan.
Pertanyaan Locke menyebabkan Berkeley dan penentang gigih seperti
Lenin menyatakan pendapatnya — yang didukung oleh Bertrand Russell
— bahwa sesungguhnya tidak ada pembelaan baru terhadap teori Idealisme Subjektif
atas argumen Berkeley.
Pandangan Berkeley
mengusik skeptisisme Hume yang masih berpengaruh sehingga dialah yang mengakui
inspirasi dan mazhab filsafat terkini, yakni Positivisme Logis. Skeptisisme Hume
sangat mengganggu Kant sehingga sebagian besar filsafat Kant merupakan
upaya untuk menjawabnya. Setelah Kant tampillah Hegel, yang segera
berusaha menjawab pertanyaan setiap orang dengan mengklaim bahwa ia telah membuat
pembatasan atas filsafat alam semesta yang meliputi semua yang telah terjadi
sebelumnya. Tetapi Hegel bukan merupakan yang terakhir; serangan yang
paling sengit terhadap proposisi Hegel adalah Materialisme Dialektis,
yakni filsafat resmi Uni Soviet. Persoalan inilah yang sesungguhnya membawa kita
kepada dunia kontemporer — dan para filsuf masih mencari pertanyaan-pertanyaan baru
untuk diajukan.
Bagaimanakah filsafat mencapai kemajuan
Filsafat sangat unik
dalam perkembangannya karena kemajuannya dapat diukur dengan sejenis pertanyaan
yang harus diajukan ketimbang melalui keberhasilan dalam memberikan jawaban.
Adalah suatu pernyataan yang berlebihan jika dikatakan bahwa jawaban-jawaban tersebut
bukan merupakan persoalan besar, tetapi jelas-jelas kurang memiliki makna penting
bagi jawaban-jawaban dari ilmuwan. Jika kita melihat semata-mata pada jawaban
yang kita hadapi melalui berbagai teori yang membingungkan, disertai dengan sedikit
kesepakatan sehingga seluruh pokok persoalan menjadi tampak sia-sia dan hanya membuang-buang
waktu. Beberapa sejarah filsafat yang meletakkan teori ini secara berdampingan
adalah sebagaimana barang-barang yang diletakkan di etalase toko, sehingga mahasiswa
dimaklumi jika memiliki perasaan, “jika anda membayar sejumlah uang, anda dapat
menentukan pilihan.”
Saya yakin bahwa pendekatan
semacam itu sangat menyesatkan. Tentunya merupakan kesalahan jika sebuah
sejarah filsafat menyerupai sebuah Gabungan Otak sehingga mahasiswa harus duduk
kembali dan mendengarkan pendapat Plato, Descartes, Locke,
Kant, dan sebagainya, seakan-akan mereka sedang diartikulasikan untuk pertama
kalinya dan dinilai berdasarkan prestasi individualnya. Yang demikian ini bukan
sejarah sama sekali, karena ia meninggalkan aspek rentang waktu dan perubahan situasi.
Para filsuf tidaklah
hidup dalam sebuah kehampaan waktu. Mereka melihat persoalan-persoalan mereka
dalam perspektif zaman yang mereka hadapi. Para filsuf dari masa lalu, seberapa
pun kecemerlangan intelektual mereka, memiliki keterbatasan pengetahuan dan kosa
kata. Lalu apakah gunanya membicarakan tentang ketidakterbatasan dengan Zeno
jika ia tetap masa bodoh dengan matematika yang telah memecahkan berbagai paradoks
yang telah ia kemukakan? Atau, masih berkenaan dengan persoalan tersebut, bagaimanakah
kita dapat membincangkan secara bermanfaat tentang ruang dan waktu absolut
dengan Kant, jika tidak ada referensi yang dapat diberikan mengenai fisika
relativitas?
Orang modern memang
mempunyai kebiasaan untuk menyebut diri mereka sebagai seorang Platonis atau
seorang Aristotelian. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Plato
dan Aristoteles mungkin memang jawaban yang terbaik pada zaman mereka, tetapi
pengalaman-pengalaman yang telah terakumulasi tentunya tidak dapat diabaikan begitu
saja. Kita pasti akan menemukan pendapat-pendapat yang membangkitkan semangat yang
banyak terdapat dalam filsafat-filsafat masa lalu, tetapi tentu saja dengan persyaratan
yang ketat. Cara yang paling bermanfaat tentu saja dengan memperhatikan
bagaimanakah setiap filsuf, dari Thales dan seterusnya, mengajukan beberapa
pertanyaan baru, yang teranyam dalam argumen segar; dan kemudian kita dapat mengikuti
gagasan orisinal yang berlangsung turun temurun dari zaman ke zaman, seperti
sebuah bola, dari satu pertanyaan ke pertanyaan yang lain.
Ini artinya bahwa
pada hari ini kita memiliki suatu keberuntungan yang besar. Kita tinggal menyaring
pengalaman selama berabad-abad. Kita tidak saja mengetahui, misalnya, hal-hal
yang ditanyakan oleh Locke, tetapi juga hal-hal yang dipikirkan oleh Berkeley
tentang pertanyaan itu, bagaimanakah kelanjutan dari pertanyaan tersebut ketika
hinggap di berbagai pikiran seperti Hume dan Kant. Namun
pertanyaan dan pemikiran itu menghilang ditelan proses sejarah. Terdapat banyak
kesalahan dalam argumen-argumen yang kita sendiri tidak mengetahuinya, tetapi
kemudian dengan berjalannya waktu, argumen-argumen tersebut terungkap.
Jika kita melihat jauh
ke belakang, kita juga dapat melihat hal-hal yang sama sekali tidak terbukti pada
saat itu — bahwa filsafat muncul dari latar belakang agama. Sebagaimana agama itu
sendiri, yang muncul dari takhayul animistik, ia mempertahankan pandangan-pandangannya
dari tingkatan yang rendah, demikian pula, filsafat juga mempertahankan pandangan
agama tertentu. Hal itu terjadi sebelum penggunaan kekuatan Akal Budi dihargai
dengan semestinya. Insting para filsuf terdahulu dipakai untuk meletakkan sebuah
sistem sebagai hal yang dogmatis sebagai sebuah kosmologi agama.
Sebagaimana
yang ditulis Profesor Cornford, “Daya tarik para filsuf Yunani terdahulu terletak
pada fakta bahwa pada umumnya mereka tidak terganggu sama sekali ketika menemukan
argumen yang buruk, tetapi hanya menyatakan keyakinan mereka secara dogmatis.
Mereka menghasilkan sebuah sistem seperti halnya seorang seniman ketika menciptakan
karya seni. Sikap mereka adalah, ‘Bagaimanakah dunia ini terjadi.’ Dan sistem
itu sendiri, yang berbeda dengan argumen mana pun, yang dapat dianyam sehingga tercipta
sebuah kain, kini dilempar jauh-jauh seperti sebuah patung atau puisi, seperti ungkapan
dari beberapa pemikiran atau perasaan yang terkandung dalam batin lalu diucapkan.”
(From Religion to Philosophy).
Metode orakular ini
dipakai oleh beberapa filsuf besar. Mereka membangun sistem yang luas dan rumit
yang tidak saja menandingi deskripsi agama tetapi juga menjadikan sains pada masa
itu tampak sangat lamban dan membosankan. Sistem tersebut diklaim sebagai deduksi
dari prinsip-prinsip yang diasumsikan sebagai prinsip pembuktian-diri. Akibatnya,
sistem tersebut tampak seperti menawarkan sebuah jalan lebar menuju pengetahuan
yang terlepas dari metode sains yang bersifat trial and error. Sistem itu
kemudian menjadi sampah dari perjalanan sejarah dari penyelidikan filosofis seperti
tulang-tulang mammoth yang telah punah, dan tampaknya ia menjadi sesuatu
yang mustahil sehingga kita perlu melihat usaha semacam itu yang lebih banyak.
Bentuk filsafat ini
kadang-kadang disebut sebagai “Meta-fisika” yang mengalami kehancuran ketika
sains mengambil alih pengkajian tentang cara kerja alam semesta. Perjalanan waktu
telah membuktikan bahwa tidak ada lagi harapan bagi metafisika untuk bersaing dengan
metode eksperimental. Penyelidikan terhadap alam tidak lagi dapat dilaksanakan di
atas kursi. Namun, ada penyelidikan yang sangat penting yang tentu saja dapat
dilaksanakan dari atas kursi. Salah satu di antaranya adalah matematika; dan
filsafat, sebagaimana yang dikenal luas pada hari ini, adalah contoh lainnya.
Problema Modern
Bagaimanakah
filsafat pada umumnya dipahami pada hari ini? Perubahan makna apakah yang telah
terjadi dalam menggunakan istilah? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat kita
harus melacak penjelajahan sepanjang sejarah atas gagasan-gagasan yang telah dicampakkan
oleh para filsuf masa lalu. Saya kira kita akan melihat bahwa kemajuan telah diraih,
meskipun belum seperti yang diharapkan. Kita akan melihat bahwa hasil-hasil
yang mendasar telah menjadi lebih jelas, dan pertanyaan yang diajukan menjadi
lebih rumit sehingga meningkatkan pemahaman kita tentang apa yang sesungguhnya kita
lakukan.
Betapapun rumitnya
pertanyaan, pokok persoalannya sesungguhnya berada di dekat kita. Kita jangan sampai
meninggalkan profesi kita untuk menyelidikinya. Kita tidak perlu menjadikan
filsafat sebagai profesi kita. Prestasi-prestasi besar justru diraih oleh para amatir
yang cemerlang yang memulai karirnya dengan serangkaian pemikiran yang dilakukan
oleh orang-orang awam yang cerdas di sela-sela waktu senggang mereka. Lalu
merembet kepada para budak, tentara, dan negarawan, dan paling tidak karya yang
penting telah dihasilkan oleh orang-orang yang berprofesi — sebagai dokter, ahli
optik, kepala sekolah, dan pegawai negeri — seperti layaknya para profesional.
Alangkah absurdnya
bagi seorang amatir untuk menyatakan pendapatnya tentang Teori Kuantum; tetapi masih
mungkin bagi seorang filsuf amatir untuk mengatakan hal-hal yang penting. Ilmuwan
profesional seringkali mengabaikan hal-hal yang sangat penting dalam kapasitas
mereka sebagai filsuf amatir; tetapi mereka sering mengatakan hal-hal yang tolol,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Susan Stebbing dalam Philosophy and
the Physicists. Untuk membela filsuf amatir bukan berarti bahwa siapa saja dapat
duduk-duduk kapan saja lalu mengatakan sesuatu yang berharga tentang filsafat. Mengacu
kepada Eddington misalnya, Dr. Stebbing berkomentar, “Kekurangannya dalam pendidikan
filsafat (kesimpulan saya berdasarkan tulisannya, bukan dari informasi pribadi
sebagaimana dalam daftar bacaannya) menjadikan mungkin baginya untuk tergelincir
dalam kesulitan yang mau tidak mau harus ia hindari.”
Beberapa orang yang
sangat tergesa-gesa untuk bertempur tidak mempedulikan bagaimanakah pertanyaan
yang telah menjerumuskan mereka sangat dalam juga pernah terjadi pada masa lampau.
Tanpa mengetahuinya, mereka menggunakan argumen yang pada zaman dahulu terbukti
sebagai argumen yang salah, dan mereka mengajukan pertanyaan yang pada masa
lampau pernah diperbaiki dengan perbaikan yang hati-hati. Mengabaikan warisan
masa lalu yang kaya tentu saja merupakan sikap arogan Para pedagang Miletus
yang memikirkan tentang terwujudnya alam semesta beberapa ribu tahun yang lalu melihat
alam semesta sebagaimana yang kita lihat pada saat ini; indera mereka memberikan
data yang sama, pikiran mereka paling tidak sama cerdasnya dengan pikiran
modern yang paling cerdas. Tetapi mereka memulai dengan sebuah halaman yang kosong.
Pada waktu itu tidak ada “daftar bacaan” yang dapat membantu mereka, bukan semata-mata
untuk memecahkan persoalan mereka, tetapi untuk menyatakan kembali keadaan
mereka dalam bentuk sedemikian rupa sehingga mereka mampu memecahkan persoalan.
Beberapa persoalan
yang membingungkan para filsuf pada masa lalu sebagian, bahkan mungkin seluruhnya
telah terpecahkan. Persoalan-persoalan itu telah diambil alih oleh para ilmuwan.
Tetapi kemajuan sains telah menyingkap persoalan-persoalan aktual sehingga para
ahli fisika modern mengalihkan perhatian mereka kepada filsafat, bukannya melecehkannya,
sebagaimana yang pernah diusahakan oleh para pendahulu mereka. Mereka berpaling
kepada filsafat karena ingin belajar memformulasikan berbagai pertanyaan secara
lebih akurat dan sangat mendasar. Pada abad ketujuh belas, ketika filsafat dan
sains terpisah, orang beralih untuk menganalisis pengalaman, sedangkan yang
lain mengalihkan perhatiannya pada eksperimen fisika, sehingga cara tersebut menuju
kepada kejelasan sehingga persoalan-persoalan baru semakin jelas bentuknya.
Dengan demikian, jika
orang bertanya tentang bentuk pertanyaan tentang apakah yang ingin dijawab oleh
filsafat pada hari ini, sebuah jawaban singkat akan dikemukakan bahwa hal itu terutama
bersangkutan dengan istilah-istilah yang menyatakan tentang pengalaman kita.
Tetapi jangan sampai diartikan bahwa filsafat modern itu bersifat subjektif. Sesungguhnya,
sebagian orang berpendapat bahwa apa yang menjadi pengalaman kita hanya ada
dalam pikiran; sedangkan yang lain akan membantahnya, sekalipun mereka mungkin masih
puas untuk menyebutkan hal-hal yang mereka analisis, yaitu Pengalaman. Persoalannya
adalah bagaimanakah harus mengartikan istilah-istilah seperti Pengalaman,
Pikiran, dan Keberadaan.
Bagi Bertrand
Russell, filsafat modern tidak bersifat metafisik juga tidak subjektif. Ia menulis,
“Pada umumnya, membuktikan kebenaran agama dianggap sebagai urusan filsafat. Realisme
baru tidak mengakui bahwa filsafat dapat membuktikannya, atau bahkan menolaknya.
Tujuannya hanyalah menjelaskan gagasan-gagasan fundamental tentang sains, dan untuk
mensintesakan berbagai sains berdasarkan pandangan tunggal yang komprehensif
terhadap fragmen dunia yang menyatakan bahwa sains telah berhasil melakukan eksplorasi.
Ia tidak mengetahui apa yang ada di balik itu; ia tidak memiliki jimat untuk mengubah
kebodohan menjadi pengetahuan. Ia menawarkan kegairahan intelektual kepada orang-orang
yang menghargainya, tetapi ia tidak berupaya untuk membujuk kesombongan manusia
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar filsafat. Jika ia bersifat kering
dan teknis, maka ia meletakkan kesalahan pada alam semesta, yang telah memilih bekerja
dengan cara matematis bukannya seperti yang diinginkan oleh penyair atau mistikus.”
(Sceptical Essays’).
Whitehead lebih bersimpati
kepada metafisika, tetapi ia menentang pandangan subjektif meskipun ia puas
dengan menyatakan bahwa ia telah membuat analisis berdasarkan Pengalaman.
“Filsafat spekulatif,” ia menulis, “adalah upaya untuk meletakkan kerangka sistem
yang konsisten, logis, dan perlu terhadap gagasan-gagasan umum dalam arti bahwa
setiap unsur pengalaman kita dapat diinterpretasikan.” Dan untuk menjadikan persoalan
ini semakin jelas, ia meneruskan, “Setiap sains harus mengembangkan instrumennya
sendiri. Peralatan yang diperlukan oleh filsafat adalah bahasa. Dengan demikian,
filsafat merancang ulang bahasa dengan cara yang sama sebagaimana ilmu
pengetahuan alam, yang peralatannya telah dirancang ulang.” (Process and
Reality).
Diperlukan waktu berabad-abad
untuk berpikir keras sebelum terlaksananya realisasi tersebut sehingga kata-kata
tidak secara abadi menetapkan berbagai hal, sehingga kata-kata itu dapat dicampakkan
dalam tumpukan, dan kata-kata yang baru pun diciptakan, sehingga sebagian seakan-akan
merupakan persoalan yang tak terpecahkan karena kesulitan untuk mengekspresikannya,
sehingga kecelakaan dalam bentuk tata bahasa pada bahasa tertentu menciptakan
persoalan artifisial yang tidak ada sangkut pautnya dengan pokok persoalan yang
sedang dibahas. Dewasa ini, filsuf dihadapkan dengan pengalamannya atau, jika anda
lebih suka menyebutnya seperti itu, maka dengan fakta itu dia bebas untuk menyusun
perkataan apa saja yang ia sukai, dan menemukan kategori apa saja yang ia anggap
menyenangkan, sehingga dapat menyortir pengalaman-pengalaman dan mengklasifikasikannya.
Ia sendiri misalnya, membuat kelas yang ia sebut sebagai Ilusi; dan ia membuat
kelas lain yang ia sebut sebagai Realitas. Tidak ada batas dalam sejumlah konsep
yang dapat ia bangun, yaitu Benda, Pikiran, Kehidupan, Substansi, Peristiwa, Penyebab,
Hukum, dan sebagainya.
Tetapi saya sedang melakukan
antisipasi. Namun, seluruh kisah tidak dapat diceritakan. Untuk sementara ini,
saya hanya ingin menekankan perbedaan penting antara filsafat kuno dan filsafat
modern. Sikap modern bersifat laten dalam kontroversi yang telah berlalu,
misalnya Nominalisme, tentu saja benar; tetapi pandangan bahwa bahasa merupakan
alat untuk menginterpretasikan pengalaman, dan alat tersebut dapat dirancang
ulang, sepenuhnya merupakan hal yang baru dalam penerapannya yang menyeluruh. Sains,
agama, sastra, bahkan filsafat itu sendiri, harus dinyatakan dalam bahasa; demikian
pula kritik terhadap bahasa, karena ia merupakan sebuah kritik bagi instrumen berpikir
itu sendiri, yang sangat asasi.
“Ketika saya menggunakan
sepatah kata,” Humpty-Dumpty berkata dalam nada yang agak melecehkan, “itu artinya
sama dengan apa yang saya pilih untuk menyatakan artinya, tidak lebih tidak
kurang.”
“Pertanyaannya
adalah,” kata Alice, “apakah anda dapat membuat kata-kata dengan maksud
yang menunjukkan berbagai hal.”
“Pertanyaannya
adalah,” kata Humpty-Dumpty, “manakah yang menjadi masternya, itulah
yang terpenting.”
Pada umumnya, kita
dapat mengatakan bahwa hampir semua filsuf kuno dan abad pertengahan, kata-kata
merupakan master; dan inilah hal yang diharapkan dapat ditemukan agar
secara historis dapat melihat munculnya filsafat dari agama, dengan sikap yang quasi-magis
terhadap nama-nama. Bagi hampir semua filsuf modern, kata-kata adalah instrumen,
dan meskipun sikap ini dipegang oleh berbagai mazhab yang berbeda-beda, ia merupakan
salah satu temuan positif yang pernah muncul selama berabad-abad perdebatan.
Untuk memahami pentingnya
persoalan tersebut, bagaimanapun mula-mula kita harus menyelidiki hal-hal yang menjadi
penyebabnya. Tak seorang pun, betapapun cerdasnya ia, dapat membuka sebuah buku
yang ditulis oleh seorang filsuf kontemporer dan memahami apa yang ia baca tanpa
terlebih dahulu mengenal sejarah filsafat. Tak seorang pun yang mengabaikan berbagai
kontroversi besar pada masa lampau dapat memahami kutipan sederhana yang saya ambil
dari Russell dan Whitehead. Bahasa Inggris cukup jelas, tetapi kamus yang menjelaskan
istilah tersebut tidak menceritakan apa pun kepada kita mengenai asosiasi dan pertikaian
di antara mereka. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan Realisme? Apakah yang dimaksud
dengan Subjektif, Objektif, Koheren, Asasi, Interpretasi?
Kaum Ionian tidak akan
memahami apa yang dimaksud dengan merancang ulang bahasa untuk menginterpretasikan
pengalaman, yakni untuk merancang serangkaian jaring-jaring istilah abstrak sehingga
dapat menjaring ikan di antara kekacauan yang terjadi dan menyusun hasil tangkapannya
secara berurutan. Kita juga tidak dapat memahami tentang apa yang dimaksud
dengan pernyataan semacam itu kecuali jika kita mengetahui segala sesuatu
tentang proses yang dinyatakan oleh kaum Ionian yang lambat laun menuju kepada situasi
modern.
Buku ini terutama membahas
tentang filsafat modern. Karena alasan tempat, pembahasan kita tentang hal-hal
yang ditanyakan oleh para filsuf pada abad ketujuh belas terpaksa harus singkat.
Akan tetapi, ketika persoalan Pengetahuan muncul, saya akan membicarakannya
dengan lebih detail dengan membahas proses merancang ulang bahasa yang tanpa
kita sadari telah dimulai, tetapi pada saat ini telah disadari, dan sesungguhnya
tugas utamanya terserah kepada para filsuf untuk melaksanakannya.
Perjalanan ini akan
membawa kita jauh ke masa lalu dalam sejarah, dan kita akan mengikuti perkembangan
gagasan di sepanjang rute yang sangat menyiksa. Kita akan berlari dalam culs-de-sac
dan seringkali harus mengulang kembali langkah-langkah kita; tetapi kita sampai
kapan pun harus menyaksikan penjelajahan yang sangat menarik atas jiwa manusia
pada saat kesadarannya semakin mendalam dan ia menjadi sadar atas kekuatan kreatifhya
sendiri. Perjalanan seperti itu, di antara pikiran-pikiran terbaik dari otak-otak
yang terbaik, tentu saja sangat bernilai seandainya ia dapat memberikan kegairahan
intelektual. Hal itu akan membantu kita dalam memperjelas gagasan kita sendiri
dan berpikir dengan sedikit lebih benar; dan ia akan menjadikan kita rendah hati
ketika kita melihat betapa butanya, bahkan orang besar sekalipun, dan akan
menjadi toleran begitu kita menyadari tentang adanya berbagai pandangan tentang
alam semesta.
Referensi Penting
The Problems of Philosophy, oleh Bertrand
Russell; 1912.
A History of
Western Philosophy,
oleh Bertrand Russell; 1947.
From Religion to
Philosophy,
oleh F. M. Cornford; 1912.
An Introduction to
Logic,
oleh H. W B. Joseph; 1916.
A Sketch of
Medieval Philosophy,
oleh D. J. B. Hawkins; 1947.
The Open Society
and Its Enemies
(Vol. I), oleh K. R. Popper; 1946.
The Grammar of
Science,
oleh Karl Pearson; 1911.
The Mind and Its
Place in Nature,
oleh C. D. Broad; 1925.
Science and Human
Experience,
oleh H. Dingle; 1931.
The Nature of the
Physical World,
oleh A. Eddington; 1928.
Language,
Truth, and Logic,
oleh A. J. Ayer; 1946.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar